Rabu, 27 Mei 2009

Artikel Pendidikan Standar Perencanaan Proses Pembelajaran

Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.

A. Silabus

Silabus sebagai acuan pengembangan RPP memuat identitas mata pelajaran atau tema pelajaran, SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.

Silabus dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), serta panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam pelaksanaannya, pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah/madrasah atau beberapa sekolah, kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Pusat Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas Pendidikan.

Pengembangan silabus disusun di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD dan SMP, dan dinas provinsi yang bertanggungjawab di bidang pendidikan untuk SMA dan SMK, serta departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk Ml, MTs, MA, dan MAK.

B. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan.
Komponen RPP adalah :

1. Identitas mata pelajaran

Identitas mata pelajaran, meliputi: satuan pendidikan, kelas, semester, program/program keahlian, mata pelajaran atau tema pelajaran, jumlah pertemuan.

2. Standar kompetensi

Standar kompetensi merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik
yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester pada suatu mata pelajaran.

3. Kompetensi dasar

Kompetensi dasar adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompetensi dalam suatu pelajaran.

4. Indikator pencapaian kompetensi

Indikator kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

5. Tujuan pembelajaran

Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.

6. Materi ajar

Materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian
kompetensi.

7. Alokasi waktu

Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar.

8. Metode pembelajaran

Metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran. Pendekatan pembelajaran tematik digunakan untuk peserta didik kelas 1 sampai kelas 3 SD/MI.

9. Kegiatan pembelajaran

a. Pendahuluan

Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.

b. Inti

Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

c. Penutup

Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.

10. Penilaian hasil belajar

Prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi dan mengacu kepada Standar Penilaian.

11. Sumber belajar

Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.

C. Prinsip-prinsip Penyusunan RPP

1. Memperhatikan perbedaan individu peserta didik

RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin, kemampuan awal, tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.

2. Mendorong partisipasi aktif peserta didik
Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta didik untuk mendorong motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar.

3. Mengembangkan budaya membaca dan menulis

Proses pembelajaran dirancang untuk mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan

4. Memberikan umpan balik dan tindak lanjut

RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan,
pengayaan, dan remedi.

5. Keterkaitan dan keterpaduan

RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan mengakomodasikan pembelajaran tematik, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman
budaya.

6. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi

RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi
dan kondisi.

Sumber:

Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses





Kemunduran Desentralisasi Pendidikan

Sebagaimana kita ketahui, bahwa sistem pendidikan yang sekian lama dikelola secara sentral oleh pemerintah pusat dinilai kurang efesien, karena pendidikan yang dikelola secara sentral cenderung menafikan keberagaman, perbedaan, kultur dan sebagainya, bahkan cenderung mematikan partisipasi masyarakan, karena pembuatan kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan dilakukan secara terpusat dan dilakukan oleh aparat memerintahan pusat, sehingga pemerintah daerah hanya sebagai pekerja-pekerja perantara, sebagai penyambung dan penyalur ketetapan-ketetapan dan instruksi-instruksi dari pusat untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah. Sementara itu pihak pengelola dan pelaksana pendidikan tidak ubahnya hanya sebagai pekerja-pekerja pasif, karena mereka dalam kekuasaan dan tanggung jawab, serta prosedur-prosedur pelaksanaan tugasnya sangat dibatasi oleh peraturan dan instruksi dari pusat. Segala kegiatan yang dilakukan sekolah harus sesuai dengan peraturan yang ada, dan setidak-tidaknya mendapat izin terlebih dahulu dari pusat[1].

Akibat yang dapat kita rasakan dari sistem pengadaan pendidikan seperti itu antara lain adalah tidak meratanya hasil pembanguna pendidikan baik secara fisik maupun kualitasnya. Secara fisik dapat dilihat dari kondisi sekolah-sekolah masih banyak yang sangat memprihatinkan, jauh dari apa yang diharapkan. Secara kualitas, harus diakui bahawa masih banyak sekolah-sekolah yang mutunya di bawah standar.

Dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP). Dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP)[2]. Dalam peringkat indeks pendidikan EFA Development Index (EDI) tahun 2007, Indonesia berada pada posisi ke 62 dari 130 negara. Di samping itu, indeks pembangunan manusia Indonesia (HDI) juga masih berada pada peringkat bawah jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Peringkat HDI Indonesia pada tahun 2003 berada pada urutan 102, 111 pada tahun 2004, 110 pada tahun 2005, dan sekarang ini berada pada urutan 107 di bawah Vietnam yang menempati urutan 105. Data di atas diperkuat lagi dengan laporan Bank Dunia tentang hasil tes membaca murid kelas IV SD, Indonesia berada pada peringkat terendah di Asia. Hanya 51,7% murid kelas IV SD yang dapat membaca, dan dari hasil penelitian itu disebutkan pula bahwa siswa Indonesia yang dapat membaca hanya mampu memahami 36% dari materi bacaan[3].

Sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, diubahlah sistem pengadaan pendidikan dari sentralistik kepada desentralistik. Kemudian dikembangkanlah model pengadaan pendidikan yang dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai upaya dalam memaksimalkan penyelenggaraan desentralisasi pendidikan. MBS merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah, kebijakan, serta jalannya pendidikan di daerah masing-masing[4].

Selain memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan pemerintah daerah dalam pengadaan pendidikan, MBS juga bertujuan mendorong pengambilan keputusan parsipatif yang melibatkan semua stakeholder pendidikan di sekolah, sehingga dengan demikian akan tercipta rasa memiliki tanggung jawab dari mereka serta semakin meningkat pula dedikasi mereka[5].

Namun yang justru terjadi sekarang adalah pemangkasan dan pengekangan kembali kewenangan sekolah dalam mengelola pendidikan, hal ini sangat dirasakan oleh sekolah-sekolah negeri terutama di tingkat pendidikan dasar. Dengan adanya dana BOS, pemerintah daerah membuat aturan yang sangat membatasi sekali pihak sekolah untuk mencari sumber dana lain demi menunjang kelancaran proses pembelajaran, bahkan ada yang melarangnya sama sekali. Pemerintah daerah menilai bahwa dana BOS sudah cukup untuk mebiayai seluruh kegiatan operasional sekolah, padahal dengan adanya peraturan tersebut banyak kegiatan sekolah yang mau tidak mau harus dihapus, karena tidak cukupnya dana untuk membiayaai kegiatan tersebut. hali ini juga cukup membuat pusing para kepala sekolah, di lain pihak undang-undang menuntut kemandirian sekolah, di sisi lain pemerintah masih tertalu intervensi terhadap kebijakan sekolah.
[1] M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), cet ke-12, hlm. 129-130

[2] Anon. Data Balitbang Tahun 2003 (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2003)

[3] http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=Nzk2NQ

[4] Hasbullah, Otonomi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.67-68

[5] ibid., hlm.72-73

Oleh : Deri Suyatma

sumber: derisuyatma.wordpress.com

Pendidikan Gratis Harus Dikawal

BEBERAPA hari terkahir di media massa gencar sekali diiklankan mengenai program pendidikan gratis selama 9 tahun oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Bahkan, tak tanggung-tanggung, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, turut serta menjadi tokoh dalam iklan yang menyuarakan agar anak-anak bisa sekolah. Hal itu bisa digunakan pegangan bahwa pemerintah memang serius mengupayakan terciptanya pendidikan gratis mulai jenjang SD hingga SMP agar bisa terealisir.

Kondisi itu patut disyukuri oleh seluruh masyarakat Indonesia karena dinilai dari sudut manapun penyelenggaraan pendidikan gratis pasti bagus dan bakal menuai dampak positif bagi kehidupan manusia. Lihat saja sekarang, kehidupan masyarakat yang mengenyam pendidikan dan yang tak pernah merasakan pendidikan hidupnya sangat bertolak belakang.

Bisa dikatakan malah berbeda total, di mana yang pernah memperoleh pendidikan hidupnya lebih tertata dan memiliki cara pandang luas, serta hidupnya jauh lebih baik. Sedangkan yang tak pernah mengenyam pendidikan tetap terkukung dalam kemiskinan dan pemikirannya tetap terbelakang. Memang tidak semuanya seperti itu, namun harus diakui secara keseluruhan kenyataannya seperti itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan akan membawa dampak perubahan bagi aktivitas manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Tetapi ada saru catatan yang harus diperhatikan Depdiknas menyangkut biaya penarikan uang administrasi oleh pihak sekolah. Karena jika pendidikan gratis sudah diterapkan, sedangkan di sisi lain pihak sekolah dengan dalih beragam tetap menarik iuran dan melakukan pungutan biaya gedung atau semacamnya, seperti pembelian baju sekolah baru dan buku pelajaran maka itu sama saja sebagai bentuk pemerasan. Sehingga pendidikan gratis baru dalam tahap wacana karena antara kebijakan dan pelaksanaan tidak saling sinkron. Karena selama ini sudah banyak kejadian semacam itu, tak terkecuali program BOS, yang di mana siswa tetap ditarik biaya aneh-aneh yang membuat program BOS tak dirasakan manfaatnya oleh siswa.

Untuk itu kebijakan program gratis 9 tahun harus dikawal dan jika ditemukan pelanggaran di tingkat sekolah maka Depdiknas bisa turun tangan untuk melakukan tindakan semestinya sebagai upaya agar memberikan pelajaran bergarga pada sekolah lainnya supaya tak melakukan tindakan bandel. Karena sangat disayangkan bila pemerintah sudah menghabiskan biaya besar dengan gembar-gembor iklan, tetapi dalam kenyataannya pendidikan gratis hanya sebatas gaung yang tak dilaksanakan setiap komite sekolah SD maupun SMP.

sumber: erikpurnama.wordpress.com

Orang tua bijak adalah sahabat anak

Keluarga adalah yang pertama dan utama sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak, karena sebelum anak mengenal lingkungan lain, keluargalah yang terlebih dahulu memberikan pondasi untuk membentuk kepribadian anak. Meskipun demikian, orang tua kadang kurang tepat dalam memperlakukan anak. Memang, untuk menjadi orang tua tidak ada sekolahnya, dengan demikian ketika menjadi orang tua biasanya mereka berkaca dari apa yang telah mereka alami dulu ketika masih anak-anak. Padahal bisa jadi apa yang dialaminya dulu sudah tidak efektif lagi untuk diterapkan saat ini. Oleh karena itu, dalam tulisan kali ini akan dipaparkan bagaimana menjadi orang tua efektif agar anak dapat berkembang dengan baik. Beberapa hal tersebut adalah :

1. Mau meminta maaf kepada anak jika berbuat salah.

2. Mau mengucapkan mengucapkan terima kasih.

3. Menepati jika berjanji.

4. Tidak memberikan “label” pada anak.

5. Senyum dan memberi sentuhan fisik.

6. Lebih baik melakukan tindakan daripada sekedar kata-kata. .

7. Lebih merespon ketika anak berbuat negative, daripada ketika anak berbuat positif. .

8. Tidak mengucapkan kata “jangan” .

9. Menghargai pertanyaan anak. .

10. Tidak menghukum secara fisik

Jika orang tua dapat menerapkan hal-hal tersebut, dimungkinkan anak dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik, tanpa tekanan, tanpa celaan dan tanpa ketakutan, tetapi hidup dalam lingkungan yang penuh penerimaan dan rasa aman, sehingga ia akan berkembang menjadi pribadi yang positif, karena pada dasarnya anak belajar dari bagaimana ia diperlakukan oleh lingkungannya. Semoga kita termasuk menjadi orang tua dambaan anak-anak.

Sumber selengkapnya disini

Model-Model Pembelajaran Inkuiri

Beberapa macam model pembelajaran inkuiri yang dikemukakan oleh Sund dan Trowbridge diantaranya :

1. Guide Inquiry

Pembelajaran inkuiri terbimbing yaitu suatu model pembelajaran inkuiri yang dalam pelaksanaannya guru menyediakan bimbingan atau petunjuk cuku luas kepada siswa. Sebagian perencanaannya dibuta oleh guru , siswa tidak merumuskan problem atau masalah. Dalam pembelajaran inkuiri terbimbing guru tidak melepas begitu saja kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa. Guru harus memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa dalam melakukan kegiatan-kegiatan sehingga siswa yang berifikir lambat atau siswa yang mempunyai intelegensi rendah tetap mampu mengikuti kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan dan siswa mempunyai tinggi tidak memonopoli kegiatan oleh sebab itu guru harus memiiki kemampuan mengelola kelas yang bagus.

Inkuiri terbimbing biasanya digunakan terutama bagi siswa-siswa yang belum berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri.Pada tahap-tahap awal pengajaran diberikan bimbingan lebih banyak yaitu berupa pertanyaan-pertanyaan pengarah agar siswa mampu menemukan sendiri arah dan tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk memecahkan permasalahan yang disodorkan oleh guru. Pertanyaan-pertanyaan pengarah selain dikemukakan langsung oleh guru juga diberikan melalui pertanyaan yang dibuat dalam LKS. Leh sebab itu LKS dibuat khusus untuk membimbing siswa dalam melakukan percobaan dan menarik kesimpulan.

2. Modified Inquiry

Model pembelajaran inkuiri ini memiliki ciri yaitu guru hanya memberikan permasalahan tersebut melalui pengamatan, percobaan, atau prosedur penelitian untuk memperoleh jawaban. Disamping itu , guru merupakan nara sumber yang tugasnya hanya memberikan bantuan yang diperlukan untuk menghindari kegagalan dalam memecahkan masalah.

4. Free Inquiry

Pada model ini siswa harus mengidentifikasikan dan merumuskan macam problema yang dipelajari dan dipecahkan. Jenis model inkuiri ini lebih bebas daripada kedua jenis inkuiri sebelumnya.

5. Inquiry role Approach

Model pembelajaran inkuiri pendekatan peranan ini melibatkan siswa dala tim-tim yang masing-masing terdiri atas empat orang untuk memceahkan masalah yang diberikan. Masing-masing anggota memegang peranan yang berbeda, yaitu sebagai koordinator tim, penasihat teknis, pencatat data, dan evaluator proses.

6. Invitation Into Inquiry

Model inkuiri jenis ini siswa dilibatkan dalam proses pemecahan masalah dengan cara-cara yang lai ditempuh para ilmuwan. Suatu undangan (invitation) memberikan suatu problema kepada para siswa dan melalui pertanyaan masalah yang telah direncanakan dengan hati-hati mengundang siswa untuk melakukan beberapa kegiatan atau kalau mungkin semua kegiatan berikut:a) Merancang eksperimen, b) Merumuskan Hipotesis , c) Menentukan sebab akibat, d) menginterpretasikan data, e) Membuat grafik, f) Menentukan peranan diskusi dan kesimpulan dalam merencanakan peneitian ,g) mengenal bagaimana kesalahan eksperimental mungkin dapat dikurangi atau diperkecil.

7. Pictorial Riddle

Pada model ini merupakan metode mengajar yang dapat engembankan motivasi dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil atau besar , Gamabar peragaan, atau situasi sesungguhnya dapat digunakan untuk mningkatkan cara berfikir kritis dan kreatif para siswa.Biasanya, suatu riddle berupa gambar dipapan tulis, poster, atau diproyeksikan dari suatu transparansi, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan riddle itu.

8. Synectics Lesson

Pada jenis ini memusatkan keterlibatan siswa untuk membuat berbagai macam bentuk kiasan supaya dapat membuka intelegensinya dan mengembangkan kreativitasnya. Hal ini dapat dilaksanakan karena kiasan dapat membantu siswa dalam berfikir untuk memandang suatu problema sehingga dapat menunjang timbulnya ide-ide kreatif.

9. Value Clarification

Pada model pembelajaran inkuiri jenis ini siswa lebih difokuskan pada pemberian kejelasan tentang suatu tata aturan atau nilai-nilai pada suatu proses pembelajaran.

sumber: agungprudent.wordpress.com

RPP KTSP dan Silabus SMA KELAS XII

Bahasa Indonesia

Bahasa Inggris

PKN

Biologi

Fisika

TIK

Ekonomi

matematika IPS semester 1

Sejarah

Seni rupa

Sosiologi

TIK Lengkap

Bimbingan Konseling

Penjas

Butuh yang SD, SMP, SMA KELAS X dan XI? Klik Disini

Butuh Penjas SD? Klik Sini

Butuh Contoh Soal-Soal Penjas? Klik Sini


sumber: badien.wordpress.com

Implementasi nilai-nilai islam dalam pendidikan

Keimanan terhadap Islam sebagai sebuah manhajul hayah (sistem hidup) akan senantiasa membawa seorang muslim untuk kembali kepada ajaran agamanya. Segala permasalahan akan diupayakan untuk ditinjau dari “kaca mata” Islam. Bagaimana Islam mendudukkan persoalan tertentu, demikian pula seorang muslim akan mendudukkan persoalan tersebut. Dunia pendidikan, dalam hal ini, tidak terkecuali.

Seorang guru atau tenaga pendidik muslim, sebelum dia berperan sebagai guru atau tenaga pendidik, dia adalah seorang muslim. Artinya, dia akan memenuhi panggilan hati nuraninya untuk senantiasa membawa misi Islam dalam kehidupannya. Dan misi Islam itu adalah: rahmatan lil ’alamin. Meletakkan wacana pendidikan dalam bingkai ajaran Islam, tentu juga bukan sesuatu yang aneh. Sebab, para nabi dan rasul ’alaihimus shalatu was salam sendiri, yang merupakan manusia-manusia figur keagamaan, adalah guru-guru kehidupan. Tugas pokok dan misi utama mereka adalah pendidikan dan pengajaran.

Di dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wata’ala mengabadikan doa Nabi Ibrahim, bapak para nabi:Artinya: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah/2: 129).


sumber: renunganislam.wordpress.com

Rabu, 06 Mei 2009

Tantangan Guru di jaman Digital

Menjadi guru di abad 21 (era digital) tidaklah sama dengan menjadi guru di abad 20 dan abad-abad sebelumnya. Dunia di mana kita hidup saat ini secara fisik dan teknologi telah berkembang lebih maju. Hal itu turut mempengaruhi cara manusia berada, berintearaksi, berrelasi, dan belajar.

Abad 21 adalah era digital. Di mana-mana orang mengggunakan peralatan digital. Mereka yang lahir paling tidak setelah tahun 1980-an adalah native speaker tekhnologi. Mereka fasih dalam menggunakan bahasa digital komputer, video games, internet, dan juga handphone. Mereka disebut digital native (DN). Sementara yang lahir sebelum tahun 1980-an disebut digital immigrant (DI) (paling tidak sebagiannya). Mereka mengadopsi banyak aspek dari tekhnologi. Tetapi seperti orang yang terlambat dalam belajar bahasa asing, mereka terkadang gagap dalam menggunakannya. Itu disebabkan karena paradigma yang mereka gunakan masih paradigma yang lama. Ambil contoh, ketika membeli hanphone atau camera digital yang baru, DI cenderung membaca buku manualnya terlebih dahulu sebelum menggunakannya. Padahal, anak-anak digital native biasanya langsung menggunakannya sambil mendalami bagaimana cara mengoperasikan fitur-fiturnya.

Anak saya yang berumur 4 tahun misalnya, sangat antusias dalam menggunakan peralatan digital. Dia bisa menggunakan hanphone, mengoperasikan DVD player, atau camera digital secara mandiri (sebelumnya dia memperhatikan bagaimana kami mengoperasikan alat-alat itu). Hebatya, dia dapat melakukan semua itu sebelum dia dapat membaca. Malahan tanpa saya ajari, dia bisa mengoperasikan handphone Nseries saya hanya dengan melihat fitur tutorialnya terlebih dahulu. Itu pun dia temukan secara kebetulan ketika mencoba mengutak-ngatik handphone yang saya tinggalkan di meja. Dengan cara yang sama dia bisa menjalankan games yang ada di dalamnya. Tanpa memahami bahasa Inggris, dia mencoba menerjemahkan petunjuk how to play yang ada pada tiap-tiap game itu - seturut pemahamannya – berdasarkan simulasi yang dilihatnya.

Kondisi riil abad 21 membuat orang dewasa termasuk para guru yang datang dari dunia pra-digital kesulitan untuk membangun komunikasi yang efektif dengan anak-anak atau para siswa dari era digital. Kebiasaan dan cara mereka belajar pun tentu sangat berbeda dengan kebiasaan dan cara para guru dan orang tua mereka belajar. Hal ini sering membuat kedua belah pihak, murid di satu pihak dan guru dan orang tua di lain pihak, sama-sama fustrasi.

Yang kurang kita sadari adalah para murid yang kita hadapi setiap hari berbeda secara radikal dari kita. Mereka tidak cocok dengan system pendidikan (abad 20) yang kita rancang (Marc Prensky, On the Horizon, 2001). Ada begitu banyak ketidaknyambungan di sana-sini. Para murid - digital native - menerima informasi secara cepat dari berbagai sumber-sumber multimedia, sementara para guru - digital immigrant - memberikan informasi dengan lambat dan dari sumber-sumber terbatas (hanya menggunakan buku teks, misalnya). Para murid suka melakukan beberapa kegiatan sekaligus (misalkan menyelesaikan tugas-tugas sambil mendengar musik dari iPod), sementara gurunya menghendaki untuk melakukan satu hal saja pada satu waktu. Para murid lebih suka melihat gambar, mendengar bunyi (musik) dan melihat video terlebih dahulu sebelum melihat teksnya, sementara gurunya memberikan teksnya dulu sebelum menunjukkan gambarnya atau mendengar atau menonton videonya. Murid ingin mengakses informasi multimedia hyperlink secara acak, gurunya lebih menyukai menyediakan informasi secara linier, logis dan berurut. Murid menyukai interkasi secara simultan dengan banyak orang (siswa lainnya), gurunya menginginkan siswanya untuk bekerja secara independent. Murid menyukai pelajaran yang relevan, menarik dan dapat langsung digunakan (secara instant), gurunya ingin mengikuti kurikulum dan memenuhi standardisasi (Marc Prensky).

Guru Harus Disiapkan

Lingkungan di mana orang bertumbuh memberi dampak yang besar pada cara dia bersosialisasi, berinteraksi, dan belajar. Perbedaan pengalaman ternyata juga berpengaruh pada struktur otak. Dr. Bruce D. Berry (Baylor College of Medicine) dengan tegas mengatakan, “Different kinds of experiences lead to different brain structures”. Perbedaan ini tentu sangat berpengaruh pada cara orang belajar atau berinteraksi. Soalnya sekarang adalah siapkah para guru kita menghadapi perbedaan ini? Apakah lembaga-lembaga pendidikan guru kita telah bekerja dengan giat untuk mempersiapkan calon pendidik yang bisa menjawabi tuntutan kebutuhan anak didik DN?
Tentu saja benar bahwa tidak semua anak yang lahir di atas tahun 1980-an adalah DN. Karena akses terhadap tekhnologi serta penguasaan atasnya sangat menentukan apakah seseorang termasuk DN atau tidak. Dari segi itu maka fakta-fakta yang diungkapkan di atas bisa saja belum terjadi di semua tempat di tanah air. Namun itu tidak berarti kita masih boleh santai.
Kita semua tahu bahwa tekhnolgi berkembang dengan cepat. Internet menjadi semakin penting bagi masyarakat kita dari hari ke hari. Seperti yang kita saksikan di berbagai pelosok dunia, revolusi internet secara fundamental dan signifikan sangat berpengaruh terhadap politik, pendidikan, dan interaksi antar manusia.

DN mengajar di Sekolah Nasional Plus Kallista Batam

sumber: http://dadangnamaku.wordpress.com/

Dukung kepala sekolah kita bila…

Selama karir anda sebagai guru sudah berapa kepala sekolah yang memimpin anda? Bermacam kepribadian mereka dan gaya memimpin yang mereka perlihatkan. Apapun gaya memimpin mereka, namun ada beberapa hal yang tidak bisa tidak harus diperlihatkan kepada staf nya. Mudah-mudahan daftar dibawah ini bisa membantu anda dalam melihat dengan jernih apa hal yang prinsip dalam pola kepemimpinan seorang kepala sekolah. Sumber tulisan saya dapatkan dari sini

Mari dukung sepenuhnya kepala sekolah kita bila..

1. Menomorsatukan siswa
2. Memberi contoh integritas, kejujuran, kerja keras, dan pembelajar sejati
3. Menggunakan kekuasaanya untuk memberikan siswa inspirasi
4. Memberi contoh dirinya sebagai praktisi pendidikan yang reflektif artinya terbuka pada masukan dan selalu mau memperbaiki diri

Tapi pikirkan ulang mendukung mereka bila,

1. Tidak memperlakukan siswa dengan belas kasih, dan hormat.
2. Tidak jujur dan malas
3. Tidak ada niat untuk memberikan inspirasi bagi siswa
4. Tidak ada niat untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan guru



sumber: http://gurukreatif.wordpress.com/

Jujur tentang Kualitas Pendidikan Kita

Dunia Pendidikan di Indonesia beberapa tahun belakangan ini sedang mengalami keterpurukan akibat beberapa kebijakan pemerintah yang dirasa
terlalu terburu-buru di dalam memberikan kebijakan-kebijakan, salah satunya adalah Nilai Standar Kelulusan siswa yang dinaikkan secara bertahap dalam waktu instan selama 3 tahun terakhir dari mulai 4,25 menjadi 4,00 dan sekarang 5,50.

Gejolak terjadi dimana-mana, namun pemerintah tetap optimis dengan kebijakan yang telah diterapkannya. Maka tak ada kata lain dan tiada pilihan lain bagi sekolah-sekolah untuk tetap dengan berberat hati melaksanakan kebijakan pemerintah yang ada.

Pada artikel ini, kami mengajak kepada semua unsur yang PEDULI terhadap KEMAJUAN di bidang PENDIDIKAN, dapat dengan JUJUR menyampaikan kepada dunia luar sebenarnya apa yang terjadi dengan Dunia Pendidikan Kita???


sumber: http://smpn1gegesik.wordpress.com/

Susahnya Jadi Guru Kreatif

Apa yang dikawatirkan oleh Walser sekarang telah terbukti. Perkembangan masyarakat didominasi oleh mereka yang memiliki pemahaman, keterampilan, dan pengetahuan yang cukup tentang hal-hal tadi.

Siapa yang membantu anak didik memiliki segudang ”kemampuan” itu? Masyarakat akan menaruh harapan itu pada institusi sekolah. Hampir sebagian besar waktu anak dialaminya bersama sekolah. Dalam hal ini, guru adalah sosok yang mempunyai peran besar.

Peran guru dan sekolah

Peran guru dan sekolah bagi anak didik bersifat unik. Unik karena mereka tidak bisa menggeneralisasi kebutuhan anak didik dalam cara, bentuk, dan ukuran yang sama. Idealnya sebuah sekolah, menurut Stoll (1996), mampu memberikan pelayanan optimal kepada anak didiknya. Ia juga diharapkan dapat menjamin bahwa setiap peserta didik mampu mencapai standar optimal yang bisa mereka raih.

Sekolah pun bertanggung jawab agar seluruh aspek dalam diri peserta didik, baik terkait hal akademik maupun di luar akademik, agar berkembang secara penuh, dan itu hanya mungkin terjadi jika sekolah terus-menerus menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi setiap anak didiknya.

Tantangan pengajaran dan pembelajaran saat ini, kata guru Matematika, telah berubah 180 derajat. Perkembangan teknologi informasi, perubahan struktur masyarakat, dan maju pesatnya pengetahuan, serta munculnya teori pembelajaran baru telah mengubah hal yang esensi dari tugas pokok seorang guru.

Ia bukan lagi ”aktor” di kelas, dengan kekuasaannya dan pengetahuannya, yang mengatur apa pun yang terjadi di kelas. Guru bukan lagi ”sumur kang lumaku tinimba”, sumber dan mata air satu-satunya dalam pembelajaran di kelas. Sekarang, justru siswa yang menjadi pusat pembelajaran. Peran guru lebih menjadi fasilitator bukan orator, yang hanya bisa memerintah anak didiknya melakukan ini atau itu. Ia juga lebih menjadi motivator dan bukan eksekutor.

Setiap anak memiliki beragam kekhasan dan keunikan. Dalam belajar, ia menggunakan dari yang visual, audio, sampai kinestetik. Gardner juga mengingatkan adanya multikecerdasan pada setiap anak mulai bersifat logis-matematis, linguistik, musik, sampai intrapersonal.

Kita mengetahui pula taksonomi Bloom, dengan enam fase akusisi pengetahuannya. Kohlberg dengan tahapan perkembangan moralnya. Perkembangan usia pada diri anak sejak usia taman bermain sampai dewasa ternyata memiliki karakteristik perkembangan sosial, moral, emosional, dan kognitif yang harus disadari guru.

Semua itu tentu saja menuntut sebuah peran baru, unik, tetapi juga tidak ”gampang” dari seorang guru. Ia mengandaikan seorang guru yang ”khas”, guru memahami konteks luas itu, terampil dan kreatif dalam pendekatan mengajar, mampu memahami dan memfasilitasi keberbedaan pada diri tiap anak.

Peran itu tidak akan mungkin dijalankan seorang guru ketika mereka sendiri tidak mau menyiapkan diri, belajar terus-menerus, dan mengembangkan diri ke arah tersebut. Seorang guru, dengan peran yang berbeda dibandingkan masa lampau, tetaplah ia memiliki pengaruh yang demikian besar bagi anak didik.

Guru adalah seorang pembelajar. Sebagai pembelajar, guru memiliki karakteristik belajar yang berbeda dibandingkan seorang anak. Ia adalah pembelajar yang dewasa (adult learner). Karakteristik belajarnya bersifat khas, misalnya, seorang guru mempunyai cara belajar mandiri, mereka senantiasa memanfaatkan atau mengaitkan dengan pengetahuan atau pemahaman yang mereka miliki sebelumnya.

Mereka belajar secara kontekstual, senantiasa harus menemukan kaitan yang dipelajari dengan situasi nyata dalam hidupnya. Model pembelajaran sifatnya pemecahan masalah (problem solving) lebih menarik dibandingkan yang teoretikal sifatnya. Seorang guru selalu fokus dengan tujuan (goal) daripada sekadar rutinitas yang tidak jelas arahnya.

Ia lebih tergerak oleh pendekatan atau cara pengajaran daripada sekadar isi yang diajarkan. Ia lebih tersentuh ketika disapa secara pribadi dan dihargai. Ia ingin kemanusiaan, kedewasaan, dan pengalamannya disentuh dan diperhatikan.

Suasana interaktif, berbagi pengalaman, dan apresiasi yang sifatnya positif akan lebih membuat mereka termotivasi dan lebih terbuka pada hal yang baru.


Ruang-ruang kreatif



Dalam pandangan saya setidaknya ada dua ruang yang dapat membuat guru mampu berkembang menjadi pribadi kreatif. Ruang itu bersifat internal (dalam dirinya sendiri), dan kedua sifatnya eksternal (lingkungan sekitarnya).

Dalam dirinya harus tertanam, dalam istilah Fullan (1993), jiwa inquiry. Ini merupakan proses tanpa henti dan berlangsung sepanjang hayat. Kegiatan paling esensial seorang guru yang berjiwa inquiry adalah bertanya, termasuk sejauh mana pengajarannya relevan atau tidak dengan kebutuhan anak didiknya.

Kebiasaannya untuk ”mempersoalkan dan menguji beragam hal” dilakukannya dalam beragam aktivitas pribadi seperti praktik reflektif, jurnal pribadi, penelitian tindakan, bekerja di bawah pengawasan, dan kerja sama dengan sejawat.

Faktor eksternal, tidak lain adalah lingkungan sekolah itu sendiri. Serangkaian penataran, seminar, pelatihan, atau kegiatan pengembangan edukatif bagi guru mempunyai tujuan yang menjulang tinggi dan mulia, tetapi acap kali kurang mengakomodasi beragam kepentingan dan cara belajar guru.

Yang terjadi, kegiatan itu menjadi semacam penataran P-4, pada Orde Baru, tetapi tanpa pernah mengubah apa pun. Ia kurang memfasilitasi apa yang menjadi ketertarikan (interest), kesiapan (readiness), dan karakteristik belajar guru (learning style) yang berbeda.

Beragam pembinaan lebih terkesan formalitas, proyek semata dan sekadar menghabiskan anggaran. Kegiatan yang seharusnya 6 hari dipadatkan menjadi 3 hari dengan uang saku sama jumlahnya. Hasilnya, guru merasa bosan, digurui, menolak, pesimistis, dan akhirnya justru menjadi tidak termotivasi belajar karena merasa menjadi obyek belaka.

Semua itu menjadi lengkap tatkala mereka tidak mengalami bentuk-bentuk kegiatan pendampingan di sekolah.

Guru kembali dalam tradisi lama pengajarannya bersama anak didiknya. Perubahan guru lebih bersifat artifisial, misalnya berapa jumlah sertifikat yang dimiliki guru itu daripada yang sifatnya incremental, yakni perubahan ”kebiasaan” yang dilakukan guru dalam meningkatkan efektivitas pembelajarannya.

Maka, peran pimpinan sekolah yang diharapkan adalah, bagaimana menciptakan lingkungan dan suasana agar dapat saling berbagi dan ”menularkan” pemahaman, pengetahuan, serta keterampilan guru kepada rekan lain. Dalam proses interaktif tersebut akan terjadi proses pemurnian pemahaman dan disekuilibrium atas pengetahuan yang dimilikinya.

Belajar melalui mengajar atau berbagi pengetahuan dengan rekan sesama guru, misalnya, selain meningkatkan pemahaman dan keterampilannya sendiri akan membuat apa yang dipelajarinya itu menjadi lebih mengendap, aktual, dan hidup. Proses guru mengadopsi pengetahuan tidak berhenti pada tataran akusisi belaka, tetapi masuk ranah internalisasi dan aktualisasi yang terjadi melalui proses interaktif yang terjadi bersama rekan guru lainnya.

Kreativitas mengandaikan proses berpikir tidak linier atau lateral dalam melihat sebuah kebenaran. Perbedaan cara pandang dan ketidaksepakatan harus dihargai dan dihormati. Tidak anggota komunitas pembelajar sekolah, jatuh dalam tafsir seperti ketidaksopanan, keanehan, inkonsistensi, dan ketidakseragaman dalam memandang perubahan dan kreativitas yang dilakukan gurunya.

Guru kreatif terkadang mengajar dalam bingkai eksplorasi dan ketidakjelasan. Ia lebih mencari esensialitas daripada rutinitas atas apa yang dipelajari bersama siswa. Ia akan tersenyum manakala siswa bertanya, ”Pak saya menemukan hal berbeda, tidak seperti yang bapak katakan atau teman saya temukan, mengapa?”

Penulis:
T Gunawan Wibowo, Guru SMA Kanisius, Sedang Belajar Program Studi Instruksional Leadership, Loyola University Chicago.

Filosofi Pendidikan dan Pendekatan Anak Usia Dini (PAUD)

Filosofi adalah ilmu untuk memahami semua hal yang timbul dalam hidup manusia, sedangkan filosofi pendidikan merupakan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan secara filosofis yang menjiwai, dan mendasari dan memberikan identitas (karakteristik) suatu sistem pendidikan. Filosofi yang dianut hendaknya memenuhi syarat-syarat berfikir secara kritis, sistematis menyeluruh dan mendalam.

Filosofi pendidikan dijiwai dan didasari oleh Pancasila, serta UUD 1945 yang merupakan perwujudan jiwa dan nilai-nilai pancasila,

PAUD merupakan pembinaan yang ditujukan kepada anak usia dini melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan masuk sekolah dasar.

Dunia pendidikan anak usia dini dipelopori beberapa tokoh antara lain :

1. Martin Luther
Menekankan agar anak menggunakan sekolah sebagai sarana untuk belajar membaca.
2. John Amos Comenius
Comenius percaya bahwa pendidikan harus dimulai sejak dini
3. John Lock
Pencetus teori tabularasa (anak sebagai kertas putih)
4. JJ Rousseau
Mengadvokasi agar anak kembali ke alam
5. Reggia Emilia
Mengembangkan potensi individu anak dengan kegiatan bermain
6. Creative Play
Kurukulumnya difokuskan untuk mendorong dan mendukung kegiatan bermain anak.

Pembahasan

1. Pendekatan High Scope

Merupakan pendekatan yang melibatkan anak agar anak aktif atau CBSA, anak aktif belajar dan guru sebagai fasilitator (learning center teaching).Potensi yang dimiliki anak digali agar terlihat dalam pembelajaran di TK pendekatan ini sudah kita laksanakan dan dikurikulumnya pun sudah ada. indikator-indikator dalam kurikulum sudah mengarah pada pendekatan.

Contoh : dalam aspek

1. Seni = anak membentuk dengan plastisin
2. F/M = anak senam
3. Kognitif = anak melakukan eksperimen
4. Bahasa = anak melakukan sosiodrama
5. Pembiasaan = anak melakukan berdoa sebelum dan melakukan kegiatan

2. Pancasila sebagai Filosofi Pendidikan Nasional, lalu bantuan orang tua yang dapat diberikan agar anak dapat berkembang secara optimal yaitu :

a. Memberikan perhatian pada anak
b. Selalu menjalain komunikasi dengan anak
c. Membantu memberi materi/pembelajaran
d. Memberikan sarana dan prasarana pada anak
e. Orang tua aktif menjalin kerjasama dengan pihak sekolah/pendidik.

3. Pola Asuh Otoriter

Melaksanakan pendekatan bersifat dictator menonjolkan wibawa. Dalam pelaksanaannya pola asuh ini tidak berdiri sendiri. Tetapi dapat dikombinasikan seperti contoh pada kasus anak yang selalu membangkang, ringan tangan, menggangu teman-temannya, pola asuh yang dapat digunakan adalah pola asuh demokratis yang dikombinasikan dengan otoriter yakni sebelum kita melaksanakan pembelajaran kita membuat aturan-aturan yang dilakukan antara pendidik dan anak (demokratis) dan apabila peraturan tersebut dilanggar maka yang melanggar diberikan sanksi (otoriter). Dan sanksi yang dibuat dimusyawarahkan antara pendidik dan anak

sumber: http://arkandas.wordpress.com/

Guru dan Calon Guru vs Kebijakan Kepala Sekolah/Madrasah Dalam Dunia Politik

Bagi guru dan kepala sekolah/madrasah yang pernah mengalami kekuasaan pemerintah di jaman orde baru, tentu masih membekas kuat ingatan akan bagaimana ketatnya mereka memblokir sekolah/madrasah dari pengaruh politik praktis selain partai yang berkuasa saat itu. Dan pada waktu itu semua berpikir sama dan tidak boleh bahkan tidak berani membantah, bahwa benar tidak pada tempatnya apabila sekolah/madrasah menjadi ajang kiprahnya tokoh-tokoh politik praktis.

Namun sekarang, peluang sekolah/madrasash berhubungan dengan dunia politik itu ada, asalkan kepala sekolah/madrasah tidak takut menanggung akibatnya. Misalnya, kepala sekolah/madrasah dapat memanfaatkan isi Permendiknas nomor 13/2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, di mana disebutkan dalam Lampiran Kompetensi Manajerial nomor 2.8, bahwa kepala sekolah/madrasah harus memiliki kompetensi ”Mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan pembiayaan sekolah/ madrasah”. Ini dapat saja dimaknai sebagai peran liaison bagi kepala sekolah/madrasah.

Seiring dengan meningkatnya peran kepala sekolah/madrasah sebagai liaison tersebut, terlihat jelas semangat untuk meniadakan aktivitas politik praktis di sekolah/madrasah akhir-akhir ini mulai kedodoran. Tak dapat dipungkiri, dalam pemilu legislatif yang lalu kebanyakan guru dan atasannya sering pura-pura tidak tahu atas tersebarnya stiker gambar parpol, caleg dll di antara para murid. Dan dapat dipastikan, sebentar lagi akan disusul dengan menyebarnya gambar capres-cawapres. Ini artinya, segala sesuatu yang terkait politik praktis sekarang bisa langsung berada di tangan para murid pada saat mereka sedang belajar di sekolah/madrasah.

Kenyataan itu tak usah terlalu dirisaukan, kecuali kalau yang tersebar adalah video porno di ponsel mereka. Juga asalkan tidak melenceng dari fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional. Sebab, sebagaimana kita keyahui, Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3, UU 20/2003 tentang Sisdiknas)

Meskipun demikian, yang perlu diwanti-wanti dalam hal ini adalah kepala sekolah/madrasah sebagai sosok yang memiliki kedudukan dan kekuasaan tertinggi dalam menentukan setiap kebijakan. Karena, tak dapat dihindari, bahwa setiap kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah/madrasah senantiasa berimplikasi politik. Seringkali kenyataan ini berlangsung tanpa diperhitungkan atau disadari lebih dahulu. Sehingga bisa terjadi tahu-tahu implementasi kebijakan itu sudah merambah ke wilayah dunia politik. Padahal, dunia politik jauh berbeda dengan dunia pendidikan. Lumrahnya dunia politik tidak terlalu memberikan pertimbangan mutu keprofesian para pendidik dan atasannya. Sebaliknya dengan dunia guru dan murid, dunia pendidikan, mereka dituntut meningkatkan dan mempertahankan mutu, menegakkan disiplin, menjalankan dan menaati aturan dan kesepakatan, serta berusaha meneguhkan hati nurani dengan moral yang terpuji.

Lagipula sudah menjadi stigma, bahwa dalam berpolitik orang tidak butuh kawan abadi, kecuali kepentingan-kepentingan pribadi. Selama berpolitik yang sebenarnya paling mereka butuhkan hanya kuantitas partisipasi, alias jumlah suara pada saat pemilu. Dengan demikian, mereka menuntut pengabdian buta kepada tokoh yang sedang menjadi penguasa. Bukankah ini semata-mata demi tujuan melanggengkan kekuasaan? Lalu di mana mereka akan meletakkan skala prioritas tinggi bagi kepentingan kelompok di luar mereka? Oleh karena itu, setiap kepala sekolah/madrasah perlu cermat ketika memerankan diri sebagai liaison, dan berniat menggunakan jasa (tokoh) dunia politik demi kemajuan dan pengembangan sekolah/madrasah.

Bagaimakan semestinya kebijakan kepala sekolah/madrasah terkait dengan dunia politik? Menurut pendapat Rahmat, Fasilitator RSBI Ditpemb SMA, kunci dalam memasuki gerbang berpolitik adalah keluwesan, sikap fleksibel. Namun sikap ini tetap harus menunjukkan persistensi dan konsistensi. Sedang menurut Amin Rais, berafiliasilah pada pemenang. Itulah fleksibelitas. Dan ini sebuah pilihan. Jika tidak suka, boleh tidak mengikutinya, namun Anda jangan berada pada wilayah kekuasaan.



sumber: http://masedlolur.wordpress.com/

Mutu Pendidikan: Murid atau Sekolah ?

Maraknya dan mahalnya sekolah swasta di Indonesia (terutama di Jakarta, sementara masih berkonsentrasi di tingkat dasar) mengundang sedikitnya 2 pertanyaan:

* Apakah sekolah merupakan faktor penentu dalam kualitas pendidikan?
* Mana yang lebih baik: memperbaiki kualitas sekolah negeri atau membantu tersedianya pilihan yang terjangkau (lewat sistem voucher misalnya)?

Dua professor fakultas pendidikan dari UIUC melakukan penelitian terhadap skor tes matematika lebih dari 340000 murid kelas 4 dan 8 di 13000 sekolah baik negeri maupun swasta. Hasil penelitian menunjukkan skor dari murid sekolah swasta lebih baik. (NY Times artikel tentang penelitian ini)

Tunggu dulu, ceritanya belum selesai :)

Tetapi kalau murid-murid hanya berbeda sekolah mereka, sementara berbagai faktor demografis (pendapatan orang tua, tingkat pendidikan orang tua, lingkungan rumah dll) sama, maka murid sekolah negeri tidak kalah bahkan lebih baik daripada murid sekolah swasta. Kalau ada dua anak kembar, maka kemungkinan besar skor tes anak kembar yang di sekolah negeri lebih baik daripada saudara kembarnya di yang sekolah swasta.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor bawaan murid (siapa orang tuanya, dimana dia tinggal) lebih berpengaruh terhadap skor tesnya daripada jenis sekolahnya.

Di buku Freakonomics ada bab yang membahas tentang berbagai penelitian terhadap peranan orang tua dalam kesuksesan pendidikan anak. Kesimpulannya hampir mirip, faktor yang lebih menentukan “is not what the parents do, is who the parents are.”

Usaha orang tua untuk berusaha mencari dan membiayai sekolah swasta menunjukkan kepedulian terhadap pendidikan anak. Kepedulian ini lebih menentukan kesukesan pendidikan tersebut dibanding jenis sekolah yang dipilih.

Yang perlu diingat, sarana pendukung (guru, buku, fasilitas, kurikulum) sekolah negeri di Indonesia masih sangat minim dan jauh tertinggal dibanding sekolah swasta. Kalau hal ini bisa diperbaiki, berarti masyarakat bisa mendapatkan pendidikan yang cukup berkualitas dengan harga terjangkau.

Sistem voucher sendiri secara teknis masih sulit untuk direalisasikan. Di Amerikapun sistem ini tidak tersebar luas. Yang mungkin bisa dilakukan adalah menerapkannya di satu kota yang sekolah swastanya cukup banyak dan berkembang. Di Depok misalnya.

Sekolah bukan satu-satunya sarana pendidikan. Pemerintah juga harus memperhatikan pendidikan sebelum dan di luar sekolah. Misalnya melalui pengadaan buku-buku murah atau pembuatan acara pendidikan di televisi.

Elan:

Equally important juga adalah ‘mengontrol’ important unobserved characteristics kayak misalnya perbedaan besar subsidy per anak di sekolah swasta dan negeri. Ini, most likely, merupakan faktor penting yang bisa membedakan tingkat prestasi anak, dan kayaknya nggak di kontrol (karena mungkin nggak ada datanya) dalam penelitian tsb. Untuk Indonesia sendiri kondisinya kurang lebih sama. Ada satu paper yang bahas ini dari Newhouse dan Beegle, judulnya “The effect of school type on academic achievement: Evidence from Indonesia”.

Studi itu menunjukan bahwa anak-anak yang lulus dari SMP negeri di Indonesia cenderung memiliki nilai (NEM) yang lebih tinggi dari anak-anak yang lulus dari tipe sekolah lainnya. Pertanyaannya kemudian adalah kenapa? One of the answers is better input. Sekolah negeri punya input yang lebih baik dari sekolah-sekolah lainnya. Dan ini yang di-proxy oleh faktor-faktor demografis tadi.

Pertanyaan lanjutannya kenapa koq sekolah negeri yang dapet input yang baik. Disini issue-nya supply and demand. Paling tidak sampai lima tahun yang lalu, pemerintah masih jadi dominant supplier (kalo nggak bisa dibilang monopoli) untuk komoditas pendidikan lewat subsidi. Subsidi ini yang partly menjelaskan secara umum sekolah-sekolah negeri unggul dalam kualitas (guru, gedung, dlsb) dan fasilitas (perpus, dll). Perkecualiannya mungkin di kota-kota besar. Pasar pendidikan publik ini juga di-quota/rationed, lewat seleksi masuk sekolah terpusat. Disisi lain, ’selera’ konsumen (ortu murid) cenderung masih the one and only: yang penting anaknya pinter. This raises selection problem: yang pinter cenderung masuk ke sekolah negeri, sisanya ke swasta.

Makin kesini dua sisi pasar ini bisa dan akan berubah. Peran pemerintah kita lihat makin berkurang (subsidi berkurang, test masuk didesentralisasi, dlsb) dan bermunculan ’supplier-supplier’ pendidikan lain. Dengan kata lain, pasar punya persaingan sekarang. Di sisi lain, selera, objective dan daya beli ortu murid juga berubah. Misalnya, orang tua nggak lagi sekedar pengin anaknya pinter ‘ilmu dunia’, tapi juga pengen punya ilmu agama. Kecenderungan baru ini eventually jelas akan mengubah peran ‘tipe se kolah’ dalam menentukan prestasi anak.

Namun jangan seneng dulu dengan perkembangan ini. Jika persaingan di pasar lain mungkin bisa menurunkan harga, di pasar pendidikan ceritanya bisa berbeda. Persaingan di pasar pendidikan nggak sempurna, dimana setiap supplier bisa menarik garis perbedaan dengan pelaku lainnya. As a result, instead of driving the price down, this ‘competition’ even increase the price of education. Fenomena sekolah mahal saat ini, menurut saya, adalah buah dari fenomena ini.


sumber: http://sangap.wordpress.com/

50 Promising Indonesian Universities

Ada 2684 Institusi Pendidikan Tinggi di Indonesia, Berikut merupakan links website 50 Perguruan Tinggi Negeri/Swasta yang mempunyai kredibilitas Nasional dan mempunyai keinginan untuk dapat bekerja sama secara International (Diurut secara alfabet).

- Ahmad Dahlan University : www.uad.ac.id
- Airlangga University : www.unair.ac.id
- Atma Jaya Catholic University Jakarta : www.atmajaya.ac.id
- Atma Jaya University Yogyakarta : www.uajy.ac.id
- Bandung Polytechnic for Manufacturing : www.polman-bandung.ac.id
- Bandung State Polytechnic : www.polban.ac.id
- Bina Nusantara University : www.binus.ac.id
- Bogor Agricultural University : www.ipb.ac.id
- Bunda Mulia University : www.bundamulia.ac.id
- Diponegoro University : www.undip.ac.id
- Gadjah Mada University : www.ugm.ac.id
- Indonesian Institute of the Arts, Jogja : www.isi.ac.id

- Indonesian Institute of the Arts , Denpasar : www.isi-dps.ac.id
- Indonesian Institute of the Arts , Surakarta : www.stsi-ska.ac.id
- Institut Teknologi Bandung : www.itb.ac.id
- Institute Teknologi Sepuluh November : www.its.ac.id
- Jakarta Institute of the Arts, The : www.ikj.ac.id
- Jember University : www.unej.ac.id
- Jenderal Soedirman University : www.unsoed.ac.id
- Maranatha Christian University : www.maranatha.edu
- Merdeka University – Malang : www.unmer.ac.id
- Muhammadiyah University of Malang : www.umm.ac.id
- Muhammadiyah University of Surakarta : www.ums.ac.id
- Padang State Polytechnic : www.polinpdg.ac.id
- Padang State University : www.unp.ac.id
- Padjadjaran University : www.unpad.ac.id
- Palangkaraya University : www.upr.ac.id
- Pancasila University : www.univpancasila.ac.id
- Parahyangan Catholic University : www.unpar.ac.id
- Pasundan University : www.unpar.ac.id
- Pelita Harapan University : www.uph.ac.id
- Sanata Dharma University : www.usd.ac.id
- Satya Wacana Christian University : www.uksw.edu
- Sebelas Maret University : www.uns.ac.id
- Soegijopranata Catholic University : www.unika.ac.id
- Sriwijaya University : www.unsri.ac.id
- State University of Malang : www.malang.ac.id
- State University of Medan : www.unimed.ac.id
- Supra School of Bussiness and Computer : www.supra.ac.id
- Tadulako University : www.untad.ac.id
- Telkom School of Engineering : www.stttelkom.ac.id
- Udayana University : www.unud.ac.id
- University of 17 Agustus 1945, The : www.untag-sb.ac.id
- University of Bengkulu : www.unib.ac.id
- University of Indonesia : www.ui.ac.id
- University of Mataram : www.unram.ac.id
- University of Surabaya : www.ubaya.ac.id
- Widyagama University of Malang : www.widyagama.ac.id
- Windya Mandala Catholic University Surabaya : www.wima.ac.id
- Yogyakarta State University : www.uny.ac.id



sumber: http://ummykotasolok.wordpress.com/

Globalisasi dan Neoliberalisme Pendidikan

”Pengetahuan telah menjadi sejenis modal yang dikelola dan didistribusikan oleh institusi pendidikan kepada anak didik sebagaimana institusi ekonomi mengelola modal finansial”

Michael W. Apple[1]

Globalisasi memang tidak memiliki makna yang tunggal, namun secara terminologis dapat dikatakan bahwa globalisasi adalah proses mendunia, dari kata globe yang arti sederhananya adalah dunia, global yang berarti sedunia, sejagat. Dengan demikian secara sederhana, era globalisasi dapat dimaknai sebagai era kesejagatan, sebuah kondisi sosial-budaya yang memungkinkan semua hal yang tadinya hanya dapat dijangkau dan berpengaruh serta dipenaruhi dalam konteks ruang dan waktu terbatas, hanya dikenal terbatas dalam ranah sosial tertentu, menjadi bersifat dunia dalam pengertian dunia internasional. Sesuatu itu mengalami proses mendunia, mencapai level internasional, mampu menjangkau seluruh penjuru dunia karena sudah bersifat global (bersifat dunia, harus dibedakan dengan “dunia” yang dilawankan dengan “akhirat”).

Sebagai misal, suatu produk budaya tertentu seperti makanan cepat saji (fast food) ala Amerika semacam McDonald’s dan Coca-Cola, yang sebenarnya ia berada pada konteks lokal Amerika, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat industrialis-modernis Amerika yang membutuhkan layanan serba cepat, termasuk dalam hal makan-minum, yang membutuhkan sesuatu yang segar dan bergaya asyik (Coca-Cola). Namun dalam globalisasi, McDonald’s dan Coca-Cola berupaya untuk mendunia, mengglobal, dikenal di dan menjangkau seluruh penjuru dunia, memasarkan bahkan sampai jauh di pelosok Afrika, membuka waralaba di mana-mana. McDonald’s dan Coca-Cola dengan demikian dapat dikatakan telah mengglobal. Di sinilah, era di mana segala sesuatu memiliki kencederungan untuk mengglobal atau mendunia disebut sebagai era globalisasi.

Konon pada mulanya, globalisasi memang digagas sebagai jalan bagi perusahaan multinasional seperti Coca-Cola, Ford, dan McDonald’s untuk dapat memasarkan produknya ke seluruh pelosok dunia, tidak sekadar memenuhi kebutuhan masyarakat industrialis-modernis Amerika, tapi bahkan menciptakan segementasi baru, masyarakat di dunia lain sebagai konsumen-konsumen baru. Tiada lain tentu adalah untuk ekspansi perusahaan yang akan semakin memberikan untung yang berlipat ganda pada pemilik perusahaan, pemilik modal. Namun sebenarnya jika tilik lebih jauh mengenai globalisasi, di samping ia adalah keniscayaan dari pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat menghubungkan semua orang dari seluruh penjuru dunia dalam jaringan maya radio, televisi, telepon, dan internet, sebenarnya globalisasi tiada lain adalah gagasan untuk melegitimasi bentuk baru dari penjajahan dan penindasan (neo-kolonialisme/neo-imperialisme).

Hal ini karena dalam konteks sosio-politik-ekonomi, gagasan globalisasi dipromosikan begitu gencar oleh Barat (Amerika dan Eropa) dengan menyatakan bahwa globalisasi adalah keniscayaan yang tak dapat ditolak, ia adalah kenyataan yang pasti hadir dalam kehidupan dan kita tidak dapat mengelakkannya. Di sisi lain, pihak atau negara-negara yang memiliki kekuatan besar secara ekonomi, politik, dan bahkan budaya adalah Barat, terutama Amerika setelah perang dingin selesai, maka yang otomatis menguasai dunia atau secara kasar menjajah dunia adalah Barat. Globalisasi sebagai sebuah peluang, jalan, dan media yang memberi kesempatan siapa dan apa saja untuk mendunia pada hakikatnya tidaklah sedemikian fair, karena dalam arena kompetisi globalisasi pada akhirnya kekuatan-kekuatan besarlah yang akan mendominasi dan memenangkannya. Globalisasi dengan demikian adalah jalan lebar dari intervensi dalam bentuk penjajahan baru dalam ekonomi, budaya, dan politik dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang.

Di sinilah dalam bidang ekonomi, produk dunia industri Barat merajai dunia, budaya Barat mendunia dalam bentuk film-film Hollywood, disneyland, pun dalam bentuk pandangan hidup, tata nilai, norma kesusilaan dan lainnya, dalam bidang politik pun Barat menghegemoni dunia, Amerika Serikat bertindak bak polisi dunia yang disegani, tiada yang berani melawan ketika ia menyerbu Iraq dengan dalih mencari senjata biologis yang pada kenyataannya tidak ditemukan. Ilmu pengetahuan Barap pun menjadi cepat menyebar dan bahkan banyak yang kemudian diamini begitu saja, tanpa dikritisi dan koreksi lebih jauh. Globalisasi membentuk peta dunia baru, peta ekonomi, budaya, dan bahkan politik, tidak dalam arti geografi konvensional, tapi dalam peta dunia di mana batas-batas budaya sudah luntur, bahkan batas-batas transaksi ekonomi tiada lagi. Orang di Indonesia dapat bebas menerima pertunjukan tari Samba dari Brazil, di Brazil orang dapat menikmati tari Bali, di Indonesia orang dapat bertransaksi jual-beli dengan orang Eropa hanya dalam hitungan detik, produk-produk Barat membanjiri mall-mall di Indonesia.

Dalam fenomena tersebut, kepentingan pemilik modal, mereka yang dalam analisis Marxian disebut sebagai para kapitalis-borjuis sangat kental, inilah yang secara sederhana disebut sebagai paham neoliberal (neoliberalisme), yakni mereka yang berpendirian bahwa satu-satunya, dan hanya satu-satunya jalan menuju kesejahteraan warga dunia adalah melalui pasar bebas, lain tidak. Dengan dimotori oleh Milton Friedman dan Hayek gagasan ekonomi-politik neoliberalisme dipromosikan dan kemudian dijalankan di banyak negara maju, termasuk Amerika dan Inggris pada mulanya. Mereka memperbarui ekonomi liberalisme klasik Adam Smith dan menolak teori ekonomi John Meynard Keyness yang memberikan kewenangan bagi negara untuk campur tangan dalam perekonomian. Ekonomi neoliberalsme dengan jargon pasar bebas menolak campur tangan pemerintah dalam transaksi ekonomi dengan mengatakan bahwa transaksi ekonomi pasar bebas akan mengoreksi dirinya sendiri (mitos invisible hand), dan sebaliknya campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi akan merusak tatanan ekonomi, oleh karena itu para ekonom neoliberal selalu mengusulkan perlunya deregulasi. Tatanan ekonomi neoliberalisme ini akan selalu berupaya mengukuhkan imperium para kapitalis-borjuis, bagaimana aar modal hanya berputar dan menjadi milik mereka, hal tersebut tidak hanya karena mereka memiliki hasrat tinggi (baca: keserakahan) dalam memupuk kekayaan materi, lebih dari itu mereka percaya pada doktrin neoliberalisme, yaitu mitos trickle down effect, bahwa kekayaan yang dipupuk dan dimiliki oleh para kapitalis-borjuis itulah yang akan menetes ke bawah dan menyejahterakan semuanya, lewat upah pada buruh, lewat filantropi, dan lainnya.

Gagasan ekonomi neoliberal tersebut kemudian diteguhkan dengan didirikannya lembaga ekonomi seperti IMF, Bank Dunia, dan lainnya. lembaga-lembaga tersebutlah yang kemudian menginisiasi dibentuknya zona-zona perdagangan bebas di beberapa kawasan, dan kemudian nantinya akan betul-betul masuk dalam pasar bebas dunia. Cita-cita ideologis ekonomi neoliberal ini hanya dapat berjalan dengan dukungan dari gelombang globalisasi, tanpa globalisasi maka pasar bebas yang dicita-citakan para ekonomi neolib akan sulit terwujud. Hal yang perlu diingat di sini adalah, pasar bebas yang dipromosikan tersebut tentunya bukan pasar transaksi yang benar-benar bebas, kata “bebas” tersebut hanya kamuflase bagi tindakan monopoli, koersi oleh para kapitalis-borjuis terhadap kekuatan ekonomi kecil. Dalam pasar “bebas” itulah, ketika kompetisi dibuka untuk semua, baik yang punya modal kecil atau besar dapat bersaing bebas, maka sebetulnya yang terjadi adalah penindasan dari yang punya modal besar terhadap yang punya modal kecil. Ketika pemahaman tentang hak asasi manusia telah berkembang pesat, dan tiada lagi ruang untuk melakukan penjajahan gaya konvensional secara fisik, maka tiada lagi cara menjajah selain dalam bentuk baru, penjajahan ekonomi, politik, dan budaya melalui jalan lebas globalisasi.

Di satu sisi globalisasi membawa dampak perubahan yang positif karena ilmu pengetahuan melalui teknologi informasi dan komunikasi terkini dapat diakses dengan cepat oleh siswa, dosen, peneliti di negara-negara berkembang seperti Indonesia via televisi dan internet. Namun di sisi lain globalisasi dengan pasar bebasnya telah membuat orang-orang di negara berkembang cenderung hanya sebagai konsumen yang tidak berdaya, produsen yang ditindas para pemodal yang lebih besar, karena peran negara telah dipreteli oleh pasar. Negara sekadar menjadi alat bagi kaum kapitalis-borjuis untuk meneguhkan kekuatan ekonomi mereka, membangun imperium kekuasaan baru, imperium kapitalisme global.

Nalar neoliberalisme ini pun pada akhirnya mencengkeram dunia pendidikan, karena pendidikan adalah ranah yang sangat strategis dalam membentuk tatanan sosial melalui transformasi intelektual dan sosial, terutama kampus yang didaku sebagai centre of exellence. Beberapa praktik neoliberalisme dalam pendidikan atau yang dapat disebut sebagai neoliberalisme pendidikan antara lain adalah, pertama, berupaya untuk melepas tanggung jawab pemerintah dalam mendanai pendidikan. Pendidikan publik yang mestinya menjadi hak dari tiap warga negara untuk mendapatkannya dilepaskan dari tanggung jawab negara, dan kemudian ia menjadi santapan empuk bagi kalangan pemodal untuk menjadikannya sebagai bagian dari bisnis mereka. Dalam pelepasan tanggung jawab tersebut, pemerintah menyerahkannya sebagai tanggung jawab masyarakat bersama.

Kedua, menyamakan dunia pendidikan dengan dunia industri. Dalam hal ini, sekolah, kampus dan semua institusi pendidikan dianggap bagaikan sebuah pabrik, di mana ilmu pengetahuan dijual, siapa yang dapat membayar lebih banyak maka ia yang akan mendapatkan ilmu pengetahuan lebih banyak. Sekolah dan kampus dikelola dalam nalar perusahaan (korporasi, menjadi korporatisasi) dengan banyak pertimbangan ekonomis, seperti efektivitas, efesiensi, produktivitas, dan lainnya. Nalar ini juga menjadikan institusi pendidikan adalah sarana untuk mengeruk dan memupuk untung materi, jadi tujuan utamanya bukanlah proses pemanusiaan, pemerdekaan, pengembangan ilmu pengetahuan, namun sekadar dapat berjalan sebagaimana rutinitas industri yang menerima in put, kemudian mengolahnya, dan mengeluarkan produk yang memiliki nilai tambah dan produktivitas lebih.

Ketiga, dunia pendidikan sekadar menjadi subsistem dari tatanan ekonomi neoliberal. Dalam nalar ini, siswa yang masuk dalam sekolah atau kampus dididik dengan doktrin-doktrin modernisme-neoliberal, mereka diarahkan pandangan hidupnya pada pencapaian kesuksesan hidup ala kaum neolib, diarahkan pembangunan sosial-budaya ala borjuis-kapitalis, dan ikut dalam pandangan dan gaya hidup kaum borjuis-kapitalis. Para siswa diberikan kompetensi yang sekiranya dibutuhkan oleh dunia industri, dalam hal ini pendidikan tunduk pada kemauan pasar, pendidikan hanya ditujukan sebagai lembaga pensuplai tenaga kerja untuk dunia industri. Pendidikan dengan demikian tidak lagi sebagaimana ideal konsep pendidikan sebagai lembaga pencerahan dan pembangun peradaban, menciptakan peradaban manusia, tapi sekadar mengikuti jalan peradaban yang dibangun oleh para kaum kapitalis-borjuis di atas puing-puing humanisme, bersenjatakan legitimasi ilmu pengetahuan yang mereka kendalikan.

Kecenderungan neoliberalisme pendidikan tersebut ternyata justru dilegitimasi oleh beberapa kebijakan pemerintah, di antaranya adalah Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Beberapa klausul dalam UU BHP yang relatif dapat dikatakan sebagai legitimasi neoliberalisme pendidikan antara lain dan terutama adalah dalam pendanaan.

Misalnya, upaya pelepasan tanggung jawab negara dalam membiayai pendidikan. Hal ini terdapat pada bab VI pasal 40 ayat (2) yang berbunyi, “Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dalam pasal 41 ayat (1) memang terdapat “jaminan” dalam pendanaan pendidikan dengan menyatakan bahwa, “Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”; pada ayat (3) dinyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”, untuk biaya operasional pada pendidikan menengah pada ayat (4) bahwa, ”Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”.

Sementara itu pada level perguruan tinggi (yang dimaksud di sini tentu perguruan tinggi negeri, karena tidak disebutkan BHPM dalam klausul-klausulnya, tapi BHPP, BHPPD) terdapat dalam pasal 41 ayat (5) bahwa, “Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”, biaya operasional terdapat dalam ayat (6) bahwa, “Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit 1/2 (seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”. Kalau dicermati lebih jauh, pada ayat (5) dan (6) terdapat kata-kata “bersama-sama”, dengan demikian misalnya mengambil kasus Universitas Indonesia (UI), pada ayat (5) “pemerintah bersama-sama dengan UI menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, ..”, ayat (6) menjadi, “pemerintah bersama-sama dengan UI menanggung paling sedikit ½ biaya operasional…”. Sudah begitu, pada pasal 41 ayat (10) dinyatakan bahwa, “Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Hibah tentu tidaklah wajib, hibah sifatnya sumbangan, charity, donasi.

Pada pasal 44 yang mengatur lembaga pendidikan swasta, pada ayat (1) dinyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP Penyelenggara, dalam menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar, untuk biaya operasional dan beasiswa, serta bantuan biaya investasi dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik sesuai dengan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”. Kata-kata “menanggung dana” tersebut tidak dapat dipegang, seberapa besar tanggungannya.

Pasal 65 ayat (3) dinyatakan bahwa, “Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperoleh alokasi dana pendidikan dengan mekanisme pendanaan yang tetap paling lama 4 (empat) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan, dan selanjutnya memperoleh alokasi dana pendidikan sesuai dengan Pasal 40 ayat (5)”. Sedangkan pasal 40 ayat (5) bahwa, “Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan dikelola oleh pemimpin organ pengelola pendidikan”. Jadi, setelah empat tahun semua badan hukum pendidikan yang dulunya adalah kampus-kampus negeri tiada menerima alokasi dana subsidi pemerintah lagi, kecuali dalam bentuk hibah. Yayasan pun sama, hanya saja selama 6 (enam) tahun dan mendapatkan bantuan dana dalam bentuk hibah. Pun pada pasal 46 ayat (1) dinyatakan, “Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru”. Bila dicermati, maka perlu dipertanyakan di mana anak yang kurang mampu dan tidak memiliki potensi akademik tinggi?

Selain kecenderungan melepaskan tanggung jawab negara, yang terjadi juga mengelola bagaikan mengelola sebuah pabrik dengan prinsip-prinsip manajemen perusahaan, sekolah, kampus telah menjadi perusahaan, dan pada akhirnya akan berbudaya perusahaan. Pada pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa, “Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan”. Ketentuan ini tentu aneh, bagaimana ditentukan prinsipnya nirlaba tapi ternyata terdapat sisa hasil usaha? Hal ini diteguhkan dalam pasal 42 ayat (1) bahwa, ”Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio”. Dalam pasal 57 dinyatakan bahwa BHP dibubarkan oleh putusan pengadilan apabila –dalam point (b) dan (c)- dinyatakan pailit dan/atau asetnya tidak cukup untuk melunasi utang setelah pernyataan pailit dicabut. Pada pasal 58 ayat (1) diteruskan dengan, “Pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 wajib diikuti dengan likuidasi”. Menjadi aneh juga bahwa institusi pendidikan harus kena pajak, padahal mestinya institusi pendidikan dan kesehatan adalah ranah yang mendapatkan keringanan untuk tidak dikenakan pajak seperti pasal 38 ayat (1), (2), (4), pasal 43 ayat (4), dan pasal 45 ayat (3), karena memang merupakan tugas mulai dalam memajukan peradaban bangsa dan memanusiakan-memanusiakan manusia.

Dari teks UU No. 9/2009 tentang BHP tersebut terlihat betapa negara berupaya melepas tanggung jawab terhadap pembiayaan dunia pendidikan, terutama pendidikan publik yang selama ini dilayani oleh sekolah dan perguruan tinggi negeri. Padahal dalam konstitusi UUD ’45 sudah diamanatkan bahwa negara mempunyai tanggung jawab dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa”, pada bab XIII pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat (2) berbunyi, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Sementara dalam UU No. 9/2009 tentang BHP pasal 41 hanya menanggung pendidikan dasar dari BHPP dan BHPD, tampak bahwa swasta tidak diperhatikan. Dalam korporatisasi terlihat dengan jelas betapa istilah-istilah ekonomi digunakan dalam perundang-undangan yang mengatur tentang pendidikan, seperti pailit, deviden, portofolio, investasi, sisa hasil usaha, pajak, dan lainnya.

Neoliberalisme pendidikan setidaknya menyebabkan tiga permasalahan krusial dalam pendidikan, pertama, adalah semakin mahalnya biaya pendidikan yang mesti ditanggung masyarakat luas, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Hal ini karena institusi pendidikan publik seperti kampus-kampus negeri tidak lagi akan mendapatkan subsidi, melainkan hanya dalam bentuk hibah. Sedangkan untuk pendidikan dasar dan menengah juga tidak memperhatikan siswa yang tidak mampu dan bodoh, yang diperhatikan hanya yang tidak mampu dan pintar, terlebih lagi yang di sekolah-sekolah swasta pinggiran kota atau pelosok desa, seakan memang pemerintah tiada peduli nasib pendidikan. Kalau hanya orang-orang yang berduit yang mampu mendapatkan pendidikan memadai sampai kuliah, maka posisi-posisi strategis di masyarakat akan dikuasai oleh kalangan menengah ke atas saja, akses bagi kaum miskin untuk melakukan mobilisasi sosial vertikal semakin sempit karena biaya kuiah mahal.

Hal ini juga diperparah dengan banyak kebijakan lain seperti rasio SMA:SMK akan dijadikan 30:40, dengan alasan SMK akan lebih dapat meluluskan siswa-siswa siap kerja. Hal yang jarang diperhatikan adalah, bahwa semestinya siswa-siswa tersebut tidak harus atau jangan dipaksa untuk sekadar menajdi pekerja, tukang, atau kuli yang sekadar membutuhkan keterampilan SMK atau kursus, mestinya lebih dari itu dengan studi lanjut untuk menghasilkan para pemikir, intelektual, para pioner perubahan di masyarakat, dan pemimpin bangsa yang juga sekaligus kompeten dalam bidang keahliannya masing-masing. Realitasnya, sebagian besar mereka yang masuk ke SMK adalah dari kalangan menengah ke bawah yang membutuhkan kerja praksis untuk membantu kehidupan keluarga, dan dengan masuk SMK mereka memang dapat langsung kerja praksis, tetapi dengan begitu semakin tipis kemungkinan ia dapat keluar dari cap kelas sosial menengah ke bawah itu.

Kedua, dari sisi sosial-budaya. Korporatisasi institusi pendidikan akan membangun kultur korporasi dalam institusi pendidikan tersebut, dengan berbagai kebijakan pendidikan yang mengutamakan kapital, di sini iklim akademik akan luntur berganti menjadi iklim korporasi yang mengutamakan efektifitas, efisiensi, dan produktivitas. Ketika kampus negeri mulai tidak lagi disubsidi, maka kampus dipaksa untuk membuka badan usaha komersil, tentu di antaranya termasuk lembaga penelitian dan pusat studi, semuanya mesti dapat memberikan sumbangan dana bagi pemenuhan biaya operasional kampus. Penelitian akan lebih banyak penelitian proyek, atau penelitian kebijakan publik ketimbang riset untuk pengembangan ilmu pegnetahuan, yang muncul adalah riset-riset yang membela dan melegitimasi sang pemberi modal fenomena yang terjadi sekarang adalah ditutup jurusan dan program studi yang tidak mampu menarik minat calon mahasiswa untuk kuliah, diganti dengan jurusan dan prodi yang dibutuhkan oleh dunia industri dan tentunya akan diminati oleh para calon mahasiswa.

Lebih jauh dalam salah satu analisis Marxisme-struktural misalnya, ketika negara berselingkuh dengan para pemilik modal (kapitalis-borjuis) yang terjadi adalah pelanggengan status quo para kapitalis yang didukung oleh legitimasi negara dalam beberapa regulasi dan keputusan-keputusan politik, dan kepentingan negara atau tepatnya pemegang kekuasaan pemerintahan adalah stabilitas, keamanan, ketertiban, yang intinya juga peneguhan status quo mereka, dengan begitu perselingkuhan mereka tidak akan terendus, di sinilah kampus dan mahasiswa dikonsepkan sedemikian rupa untuk membuat mahasiswa tidak mempunyai banyak ruang dan waktu mengkritisi perpolitikan nasional, disibukkan dengan tugas-tugas kuliah, ancaman drop out, dan keberpihakan pihak kampus pada ajang yang tidak mengasah nalar kritis mahasiswa, tapi pada aktivitas yang menumpulkan nalar kritis dan meneguhkan budaya pop di kampus, seperti festival kecantikan, band-band-an, olah raga, dan lainnya. Termasuk kebijakan dari Dikti yang diamini sepenuhnya oleh banyak kampus –karena para birokrat kampus untuk kepentingan karier juga relatif membutuhkan suasana kampsu yang tenang, adem, ayem- maka banyak dana dikeluarkan untuk mengarahkan aktivitas mahasiswa pada kompetisi akademik

Ketiga, dari sisi filosofi manusia. Personalitas. Karakter dan kepribadian siswa dalam nalar neoliberalisme tersebut pada akhirnya menjadikan mereka bermental kerdil, yakni sekadar bercita-cita menjadi orang sukses sebagaimana digambarkan oleh neoliberalisme, sebagai para eksekutif muda, yang berdasi, orang kantoran, yang sebenarnya tiada lebih dari sekrup, mur, dan baut dari mekanisme pelanggenngan status quo kelas kapitalis-borjuis. Siswa-siswa kehilangan otentisitas dirinya, semua seakan disiapkan menjadi tenaga dalam mekanisme industrialis, indoktrinasi peran penting modal ketika telah tertananm dalam diri mereka, maka tiada lain semua yang akan dilakukannya adalah karena motivasi modal.
[1] Baca Lois Weis, Cameron McArthy & Greg Dimitriadis (eds.), Ideology, Curriculum, and the New Sociology of Education: Revisiting the Work of Michael Apple, New York & London, Routledge, 2006.


sumber: http://pendidikankritis.wordpress.com/

Penugasan Mode Baru

Menjelang akhir tahun pelajaran 2008/2009 dan menyambut tahun pelajaran 2009/2010, semakin gencar digunakan teknologi informasi sebagai sarana penyampaian tugas maupun hasil pekerjaan. Sekilas terlihat mubazir dan memboroskan biaya, namun sebenarnya ini besar sekali manfaatnya bagi kami yang harus bolak-balik ke luar kota demi mengejar cita-cita sambil melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih serius.

Sementara ini karena organisasi pengelola fasilitas teknologi informasi di sekolah benar-benar rumit dan “remuk”, maka fasilitas tersebut terbengkalai dan hanya menjadi tontonan semata tanpa digunakan secara optimal. Hendak memanfaatkan wifi, eh ternyata cuma sinyal tanpa bisa berinternet.

Padahal, besar dan berguna sekali. Sementara keadaan ini semakin hari semakin memprihatinkan ~ belum ada juga sedikit perubahan dan peralihan.

Kami prihatin kepada para siswa juga warga lain yang ingin mengoptimalkan fungsi fasilitas dimaksud, namun selalu terhalang atau lebih tepatnya dihalang-halangi oleh oknum-oknum tertentu. Sungguh ironi sekali.

Tapi menurut saya wajar saja dalam organisasi ada yang begitu, ada pro ada kontra sebab sekarang saatnya regenerasi atau reorganisasi di institusi ini. Tapi setelah kegiatan sosialisasi jardiknas kemarin, saya yakin dan percaya pimpinan sekolah kami yang baru tentu tidak akan tinggal diam menyaksikan keadaan yang “memilukan” tersebut.

Ada pepatah, Tidak ada rotan akar punjabi eh pun jadi … jadi apa ya ? Maka jika memang pelajaran TIK di kelas-kelas tidak dilaksanakan, maka pelajaran tersebut tetap terjadi dengan sendirinya di warnet atau di rumah siswa yang sudah terpasang internet he :D … jadi tidak susah.

Hanya saja, bagaimana pertanggungjawaban kepada ortu dan wali siswa yang sudah mati-matian membayarkan uang tahunan yang di dalamnya terdapat biaya pengelolaan TIK :D …

Terlepas dari semua hal di atas, penugasan mode baru yang dimaksud adalah dengan memanfaatkan fasilitas TIK sekolah jauh lebih optimal dibandingkan sebelumnya melalui berbagai program antara lain :

~ jaringan internet sekolah
~ jaringan internet guru (mungkin difasilitasi secara kredit dan bertahap)
~ pelatihan pemanfaatan multimedia sebagai sarana pembelajaran bagi guru dan siswa
~ program peningkatan peran Kepala Sekolah dan Komite Sekolah dalam penggunaan TIK sebagai media belajar
~ pemasangan jaringan internet lebih banyak lagi sehingga menjangkau seluruh bagian sekolah (sambungan internet nirkabel)
~ pemasyarakatan internet via GSM atau CDMA di sekolah
~ pengadaan laptop untuk guru melalui koperasi pegawai
~ pemanfaatan GPRS atau 3G untuk berinternet, telewicara dalam pengajaran

Semakin lama, judul ini semakin menarik untuk diteliti bahkan bisa dijadikan tesis atau disertasi (bagi yang berminat)


sumber: http://rudyhilkya.wordpress.com/

Buku Digital Bentuk Cetak Kurang Dikenal

Jakarta - Minimnya sosialisasi soal buku digital versi cetak untuk tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK menyebabkan siswa masih menanggung biaya pembelian buku yang mahal. Padahal, sejak akhir 2008, buku teks pelajaran digital sudah dicetak sejumlah percetakan.

”Kalau ada buku pelajaran yang murah, sangat membantu siswa. Untuk satu tahun, biaya buku paket pelajaran bisa Rp 500.000-Rp 600.000. Soalnya, ada juga buku-buku pelajaran yang harus ganti tiap semester,” kata seorang siswa kelas X SMAN 42 Jakarta, Rabu (6/5).

Sejumlah siswa SMA lainnya di Jakarta, Bandung, dan Surabaya menyatakan hal senada. Mereka masih kurang mengenal keberadaan buku digital atau buku sekolah elektronik.

Guru-guru pun dalam mengajar belum menggunakan buku digital, melainkan buku cetak biasa. Harganya cukup mahal jika dibandingkan dengan buku digital yang hak ciptanya sudah dibeli pemerintah.

Memang terlambat

Ketua Pusat Buku Indonesia Firdaus Oemar mengatakan, menjelang tahun ajaran baru, seharusnya sosialisasi mengenai buku digital versi cetak yang harganya relatif murah harus gencar dilakukan sekolah. Namun, kenyataannya, sebagian besar sekolah hingga saat ini belum melakukannya. ”Pemasaran buku digital versi cetak akhir tahun lalu memang terlambat. Sekolah sudah membeli buku cetak biasa,” katanya.

Hingga saat ini sudah 270 judul buku dari 407 buku pelajaran yang hak ciptanya dibeli pemerintah dan diunggah ke internet yang sudah ada versi cetaknya. Buku teks pelajaran digital itu banyak dicetak di Pulau Jawa seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Bogor.

Adapun untuk buku pelajaran digital versi cetak untuk jenjang SMK baru pada tahun ini akan dicetak. Buku-buku pelajaran digital versi cetak itu kemudian dikirim ke Pusat Buku Indonesia di Jakarta.

Firdaus menjelaskan, buku digital versi cetak memang masih sulit ditemukan di toko-toko buku karena sudah ada harga eceran tertinggi (HET) yang ditentukan oleh pemerintah untuk setiap buku. Untuk penjualan buku tersebut diperkirakan keuntungan yang bisa diperoleh percetakan hanya 15 persen.

”Untuk di Pulau Jawa dan kota-kota di Indonesia bagian barat yang masih dekat dengan ibu kota, keuntungannya masih bisa dirasakan. Sebaliknya, untuk di daerah yang sulit terjangkau, seperti di kawasan Indonesia timur, toko buku tidak berani memasarkan karena ongkosnya mahal,” kata Firdaus.

Karena itu, harus ada subsidi ongkos kirim dari pemerintah pusat atau daerah bagi permintaan di daerah terpencil.

Pemesanan buku pelajaran digital versi cetak tidak dikenai ongkos kirim jika menghubungi langsung Pusat Buku Indonesia dengan nomor telepon 021- 45858963, nomor faksimile 021- 45858965, atau e-mail pusatbukuindo@yahoo.co.id. Hingga saat ini, sekitar dua juta buku digital versi cetak sudah didistribusikan.

Upah Minimum Guru Diatur

Jakarta - Ratusan ribu guru honor atau wiyata bakti baik di sekolah negeri maupun swasta masih belum memperoleh jaminan kesejahteraan yang layak. Oleh karena itu, sedang diupayakan agar terdapat aturan mengenai upah minimum pendidik.

Pemerintah tengah pula menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Guru Non-PNS.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo, Rabu (6/5), mengatakan, organisasi pimpinannya telah mengusulkan agar terdapat subsidi dari anggaran negara untuk guru wiyata bakti. Saat ini terdapat 922.000 guru wiyata bakti se-Indonesia.

Para guru tersebut banyak yang memperoleh imbalan di bawah upah minimum regional untuk buruh yang ditetapkan pemerintah kota atau kabupaten. ”Mereka mengalami pelecehan profesi guru karena dibayar dengan tidak wajar selama puluhan tahun,” ujarnya.

Guru-guru honor, terutama di sekolah swasta, di sejumlah daerah banyak yang dibayar sekitar Rp 200.000 hingga Rp 250.000 per bulan dan tanpa tunjangan lainnya. Padahal, upah untuk pekerja lain rata-rata sudah di atas Rp 700.000, bahkan banyak yang di atas Rp 900.000 per bulan.

”Kami sudah mengirimkan surat pada 12 Februari 2009 ke Presiden RI dengan tembusan ke Menteri Keuangan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Menteri Sekretaris Negara agar ditentukan standar upah minimal pendidikan. Besarannya harus di atas upah minimum regional buruh pabrik,” kata Sulistyo.

Terlebih lagi, tidak seperti buruh pabrik, guru sekarang diharuskan minimal berpendidikan S-1 atau D-4. Persoalan kesejahteraan guru ini memengaruhi pula minat masyarakat terhadap profesi guru.

Sulistyo juga menyambut baik RPP tentang Guru Non-PNS yang tengah diupayakan pemerintah.

Dengan adanya perbaikan kesejahteraan, minat menjadi PNS juga berkurang.

RPP Guru Non-PNS

Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan Depdiknas Baedhowi mengatakan, Depdiknas mengajukan RPP Guru Non-PNS terutama untuk mengatur agar pengangkatan guru non-PNS lebih manusiawi. Hal itu diungkapkannya di sela-sela Pertemuan Koordinasi Asosiasi Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Seluruh Indonesia.

”Termasuk juga nanti akan diatur gaji minimal yang harus dipenuhi sekolah atau penyelenggara pendidikan. Tidak seperti sekarang, banyak guru swasta yang hanya mendapat gaji ’belas kasihan’,” katanya.

Menurut Baedhowi, RPP tentang Guru Non-PNS masih terus dibahas, antara lain dengan Kantor Menneg PAN. ”Kami ingin guru Non-PNS pun punya kepastian dalam sistem pengangkatan, penggajian, serta hak dan kewajibannya,” ujarnya.

Ketua Serikat Guru Jakarta sekaligus Ketua Forum Guru Honorer Indonesia Supriyono menambahkan, guru membutuhkan biaya untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan profesionalnya. ”Sudah seharusnya guru dapat berlangganan koran, internet, dan membeli buku paling tidak satu bulan satu judul buku,” ujarnya.

Dengan demikian, ilmu pengetahuan guru terus berkembang sehingga para murid mendapatkan pengajaran yang baik. ”Sekarang ini mutu pendidikan merosot antara lain karena guru tidak punya kemampuan finansial mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.

Sekolah Negeri Minta Tambahan Dana JPD

YOGYAKARTA – Sejumlah sekolah negeri di Kota Yogyakarta meminta tambahan anggaran Jaminan Pendidikan Daerah (JPD).Hal itu sebagai konsekuensi prioritas siswa miskin dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2009/2010.

Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 10 Kota Yogyakarta Timbul Mulyono mengatakan,selama ini JPD bagi siswa tidak mampu masih jauh di bawah standar biaya yang dibutuhkan dalam proses pendidikan. Bahkan, jika dihitung secara detail, jaminan pendidikan daerah yang dialokasikan hanya mampu menanggung sepertiga dari biaya pendidikan sebenarnya.

Timbul menjelaskan, standar biaya pendidikan yang dibutuhkan dalam setahun di SMA Negeri 10 Kota Yogyakarta sekitar Rp3,05 juta per siswa. Rinciannya, iuran sekolah bulanan atau SPP sebesar Rp150.000 per siswa.Total setahun sebanyak Rp1,8 juta per siswa. Ditambah uang sumbangan sukarela sebesar Rp1,25 juta per siswa.

”Pemkot seharusnya melakukan studi lapangan untuk menentukan standar biaya JPD. Biaya standarnya ya sekitar Rp3 juta lebih sedikit. Selama ini yang disediakan hanya mampu menanggung sepertiga biaya.Sisanya ditomboki dari subsidi silang,”katanya. Namun secara prinsip, tegas Timbul, pihaknya sangat mendukung kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta tentang penetapan kuota penerimaan siswa tidak mampu di sekolah negeri.

Dengan daya tampung sebanyak 180 bangku di lima kelas, SMA Negeri 10 paling tidak harus menerima 18 siswa pemegang Kartu Menuju Sejahtera (KMS). Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 15 Kota Yogyakarta Sukirno mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum menerima surat edaran terkait kuota khusus bagi siswa pemegang KMS tersebut.

Sehingga, dia tidak menentukan sikap.”Namun kami sudah mempersiapkan panitia penerimaan siswa baru.Jika itu sudah merupakan keputusan maka kami akan menaatinya. Hukum kanharus ditaati,”katanya. Menurut Sukirno, daya tampung SMP Negeri 15 Yogyakarta sebanyak 360 bangku di 10 kelas. Jika mengacu penetapan kuota, maka akan ada 90 siswa pemegang KMS di sekolah tersebut.

Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan DIY Prof Wuryadi meminta Pemkot Yogyakarta atau Dinas Pendidikan setempat membuat peta demografi yang lebih jelas terkait sebaran penduduk miskin. Siswa pemegang KMS akan lebih efektif jika bersekolah di sekolah terdekat dengan tempat tinggal untuk menekan biaya operasional transportasi.

Sekolah Negeri Minta Tambahan Dana JPD

YOGYAKARTA – Sejumlah sekolah negeri di Kota Yogyakarta meminta tambahan anggaran Jaminan Pendidikan Daerah (JPD).Hal itu sebagai konsekuensi prioritas siswa miskin dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2009/2010.

Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 10 Kota Yogyakarta Timbul Mulyono mengatakan,selama ini JPD bagi siswa tidak mampu masih jauh di bawah standar biaya yang dibutuhkan dalam proses pendidikan. Bahkan, jika dihitung secara detail, jaminan pendidikan daerah yang dialokasikan hanya mampu menanggung sepertiga dari biaya pendidikan sebenarnya.

Timbul menjelaskan, standar biaya pendidikan yang dibutuhkan dalam setahun di SMA Negeri 10 Kota Yogyakarta sekitar Rp3,05 juta per siswa. Rinciannya, iuran sekolah bulanan atau SPP sebesar Rp150.000 per siswa.Total setahun sebanyak Rp1,8 juta per siswa. Ditambah uang sumbangan sukarela sebesar Rp1,25 juta per siswa.

”Pemkot seharusnya melakukan studi lapangan untuk menentukan standar biaya JPD. Biaya standarnya ya sekitar Rp3 juta lebih sedikit. Selama ini yang disediakan hanya mampu menanggung sepertiga biaya.Sisanya ditomboki dari subsidi silang,”katanya. Namun secara prinsip, tegas Timbul, pihaknya sangat mendukung kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta tentang penetapan kuota penerimaan siswa tidak mampu di sekolah negeri.

Dengan daya tampung sebanyak 180 bangku di lima kelas, SMA Negeri 10 paling tidak harus menerima 18 siswa pemegang Kartu Menuju Sejahtera (KMS). Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 15 Kota Yogyakarta Sukirno mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum menerima surat edaran terkait kuota khusus bagi siswa pemegang KMS tersebut.

Sehingga, dia tidak menentukan sikap.”Namun kami sudah mempersiapkan panitia penerimaan siswa baru.Jika itu sudah merupakan keputusan maka kami akan menaatinya. Hukum kanharus ditaati,”katanya. Menurut Sukirno, daya tampung SMP Negeri 15 Yogyakarta sebanyak 360 bangku di 10 kelas. Jika mengacu penetapan kuota, maka akan ada 90 siswa pemegang KMS di sekolah tersebut.

Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan DIY Prof Wuryadi meminta Pemkot Yogyakarta atau Dinas Pendidikan setempat membuat peta demografi yang lebih jelas terkait sebaran penduduk miskin. Siswa pemegang KMS akan lebih efektif jika bersekolah di sekolah terdekat dengan tempat tinggal untuk menekan biaya operasional transportasi.