Rabu, 06 Mei 2009

Globalisasi dan Neoliberalisme Pendidikan

”Pengetahuan telah menjadi sejenis modal yang dikelola dan didistribusikan oleh institusi pendidikan kepada anak didik sebagaimana institusi ekonomi mengelola modal finansial”

Michael W. Apple[1]

Globalisasi memang tidak memiliki makna yang tunggal, namun secara terminologis dapat dikatakan bahwa globalisasi adalah proses mendunia, dari kata globe yang arti sederhananya adalah dunia, global yang berarti sedunia, sejagat. Dengan demikian secara sederhana, era globalisasi dapat dimaknai sebagai era kesejagatan, sebuah kondisi sosial-budaya yang memungkinkan semua hal yang tadinya hanya dapat dijangkau dan berpengaruh serta dipenaruhi dalam konteks ruang dan waktu terbatas, hanya dikenal terbatas dalam ranah sosial tertentu, menjadi bersifat dunia dalam pengertian dunia internasional. Sesuatu itu mengalami proses mendunia, mencapai level internasional, mampu menjangkau seluruh penjuru dunia karena sudah bersifat global (bersifat dunia, harus dibedakan dengan “dunia” yang dilawankan dengan “akhirat”).

Sebagai misal, suatu produk budaya tertentu seperti makanan cepat saji (fast food) ala Amerika semacam McDonald’s dan Coca-Cola, yang sebenarnya ia berada pada konteks lokal Amerika, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat industrialis-modernis Amerika yang membutuhkan layanan serba cepat, termasuk dalam hal makan-minum, yang membutuhkan sesuatu yang segar dan bergaya asyik (Coca-Cola). Namun dalam globalisasi, McDonald’s dan Coca-Cola berupaya untuk mendunia, mengglobal, dikenal di dan menjangkau seluruh penjuru dunia, memasarkan bahkan sampai jauh di pelosok Afrika, membuka waralaba di mana-mana. McDonald’s dan Coca-Cola dengan demikian dapat dikatakan telah mengglobal. Di sinilah, era di mana segala sesuatu memiliki kencederungan untuk mengglobal atau mendunia disebut sebagai era globalisasi.

Konon pada mulanya, globalisasi memang digagas sebagai jalan bagi perusahaan multinasional seperti Coca-Cola, Ford, dan McDonald’s untuk dapat memasarkan produknya ke seluruh pelosok dunia, tidak sekadar memenuhi kebutuhan masyarakat industrialis-modernis Amerika, tapi bahkan menciptakan segementasi baru, masyarakat di dunia lain sebagai konsumen-konsumen baru. Tiada lain tentu adalah untuk ekspansi perusahaan yang akan semakin memberikan untung yang berlipat ganda pada pemilik perusahaan, pemilik modal. Namun sebenarnya jika tilik lebih jauh mengenai globalisasi, di samping ia adalah keniscayaan dari pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat menghubungkan semua orang dari seluruh penjuru dunia dalam jaringan maya radio, televisi, telepon, dan internet, sebenarnya globalisasi tiada lain adalah gagasan untuk melegitimasi bentuk baru dari penjajahan dan penindasan (neo-kolonialisme/neo-imperialisme).

Hal ini karena dalam konteks sosio-politik-ekonomi, gagasan globalisasi dipromosikan begitu gencar oleh Barat (Amerika dan Eropa) dengan menyatakan bahwa globalisasi adalah keniscayaan yang tak dapat ditolak, ia adalah kenyataan yang pasti hadir dalam kehidupan dan kita tidak dapat mengelakkannya. Di sisi lain, pihak atau negara-negara yang memiliki kekuatan besar secara ekonomi, politik, dan bahkan budaya adalah Barat, terutama Amerika setelah perang dingin selesai, maka yang otomatis menguasai dunia atau secara kasar menjajah dunia adalah Barat. Globalisasi sebagai sebuah peluang, jalan, dan media yang memberi kesempatan siapa dan apa saja untuk mendunia pada hakikatnya tidaklah sedemikian fair, karena dalam arena kompetisi globalisasi pada akhirnya kekuatan-kekuatan besarlah yang akan mendominasi dan memenangkannya. Globalisasi dengan demikian adalah jalan lebar dari intervensi dalam bentuk penjajahan baru dalam ekonomi, budaya, dan politik dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang.

Di sinilah dalam bidang ekonomi, produk dunia industri Barat merajai dunia, budaya Barat mendunia dalam bentuk film-film Hollywood, disneyland, pun dalam bentuk pandangan hidup, tata nilai, norma kesusilaan dan lainnya, dalam bidang politik pun Barat menghegemoni dunia, Amerika Serikat bertindak bak polisi dunia yang disegani, tiada yang berani melawan ketika ia menyerbu Iraq dengan dalih mencari senjata biologis yang pada kenyataannya tidak ditemukan. Ilmu pengetahuan Barap pun menjadi cepat menyebar dan bahkan banyak yang kemudian diamini begitu saja, tanpa dikritisi dan koreksi lebih jauh. Globalisasi membentuk peta dunia baru, peta ekonomi, budaya, dan bahkan politik, tidak dalam arti geografi konvensional, tapi dalam peta dunia di mana batas-batas budaya sudah luntur, bahkan batas-batas transaksi ekonomi tiada lagi. Orang di Indonesia dapat bebas menerima pertunjukan tari Samba dari Brazil, di Brazil orang dapat menikmati tari Bali, di Indonesia orang dapat bertransaksi jual-beli dengan orang Eropa hanya dalam hitungan detik, produk-produk Barat membanjiri mall-mall di Indonesia.

Dalam fenomena tersebut, kepentingan pemilik modal, mereka yang dalam analisis Marxian disebut sebagai para kapitalis-borjuis sangat kental, inilah yang secara sederhana disebut sebagai paham neoliberal (neoliberalisme), yakni mereka yang berpendirian bahwa satu-satunya, dan hanya satu-satunya jalan menuju kesejahteraan warga dunia adalah melalui pasar bebas, lain tidak. Dengan dimotori oleh Milton Friedman dan Hayek gagasan ekonomi-politik neoliberalisme dipromosikan dan kemudian dijalankan di banyak negara maju, termasuk Amerika dan Inggris pada mulanya. Mereka memperbarui ekonomi liberalisme klasik Adam Smith dan menolak teori ekonomi John Meynard Keyness yang memberikan kewenangan bagi negara untuk campur tangan dalam perekonomian. Ekonomi neoliberalsme dengan jargon pasar bebas menolak campur tangan pemerintah dalam transaksi ekonomi dengan mengatakan bahwa transaksi ekonomi pasar bebas akan mengoreksi dirinya sendiri (mitos invisible hand), dan sebaliknya campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi akan merusak tatanan ekonomi, oleh karena itu para ekonom neoliberal selalu mengusulkan perlunya deregulasi. Tatanan ekonomi neoliberalisme ini akan selalu berupaya mengukuhkan imperium para kapitalis-borjuis, bagaimana aar modal hanya berputar dan menjadi milik mereka, hal tersebut tidak hanya karena mereka memiliki hasrat tinggi (baca: keserakahan) dalam memupuk kekayaan materi, lebih dari itu mereka percaya pada doktrin neoliberalisme, yaitu mitos trickle down effect, bahwa kekayaan yang dipupuk dan dimiliki oleh para kapitalis-borjuis itulah yang akan menetes ke bawah dan menyejahterakan semuanya, lewat upah pada buruh, lewat filantropi, dan lainnya.

Gagasan ekonomi neoliberal tersebut kemudian diteguhkan dengan didirikannya lembaga ekonomi seperti IMF, Bank Dunia, dan lainnya. lembaga-lembaga tersebutlah yang kemudian menginisiasi dibentuknya zona-zona perdagangan bebas di beberapa kawasan, dan kemudian nantinya akan betul-betul masuk dalam pasar bebas dunia. Cita-cita ideologis ekonomi neoliberal ini hanya dapat berjalan dengan dukungan dari gelombang globalisasi, tanpa globalisasi maka pasar bebas yang dicita-citakan para ekonomi neolib akan sulit terwujud. Hal yang perlu diingat di sini adalah, pasar bebas yang dipromosikan tersebut tentunya bukan pasar transaksi yang benar-benar bebas, kata “bebas” tersebut hanya kamuflase bagi tindakan monopoli, koersi oleh para kapitalis-borjuis terhadap kekuatan ekonomi kecil. Dalam pasar “bebas” itulah, ketika kompetisi dibuka untuk semua, baik yang punya modal kecil atau besar dapat bersaing bebas, maka sebetulnya yang terjadi adalah penindasan dari yang punya modal besar terhadap yang punya modal kecil. Ketika pemahaman tentang hak asasi manusia telah berkembang pesat, dan tiada lagi ruang untuk melakukan penjajahan gaya konvensional secara fisik, maka tiada lagi cara menjajah selain dalam bentuk baru, penjajahan ekonomi, politik, dan budaya melalui jalan lebas globalisasi.

Di satu sisi globalisasi membawa dampak perubahan yang positif karena ilmu pengetahuan melalui teknologi informasi dan komunikasi terkini dapat diakses dengan cepat oleh siswa, dosen, peneliti di negara-negara berkembang seperti Indonesia via televisi dan internet. Namun di sisi lain globalisasi dengan pasar bebasnya telah membuat orang-orang di negara berkembang cenderung hanya sebagai konsumen yang tidak berdaya, produsen yang ditindas para pemodal yang lebih besar, karena peran negara telah dipreteli oleh pasar. Negara sekadar menjadi alat bagi kaum kapitalis-borjuis untuk meneguhkan kekuatan ekonomi mereka, membangun imperium kekuasaan baru, imperium kapitalisme global.

Nalar neoliberalisme ini pun pada akhirnya mencengkeram dunia pendidikan, karena pendidikan adalah ranah yang sangat strategis dalam membentuk tatanan sosial melalui transformasi intelektual dan sosial, terutama kampus yang didaku sebagai centre of exellence. Beberapa praktik neoliberalisme dalam pendidikan atau yang dapat disebut sebagai neoliberalisme pendidikan antara lain adalah, pertama, berupaya untuk melepas tanggung jawab pemerintah dalam mendanai pendidikan. Pendidikan publik yang mestinya menjadi hak dari tiap warga negara untuk mendapatkannya dilepaskan dari tanggung jawab negara, dan kemudian ia menjadi santapan empuk bagi kalangan pemodal untuk menjadikannya sebagai bagian dari bisnis mereka. Dalam pelepasan tanggung jawab tersebut, pemerintah menyerahkannya sebagai tanggung jawab masyarakat bersama.

Kedua, menyamakan dunia pendidikan dengan dunia industri. Dalam hal ini, sekolah, kampus dan semua institusi pendidikan dianggap bagaikan sebuah pabrik, di mana ilmu pengetahuan dijual, siapa yang dapat membayar lebih banyak maka ia yang akan mendapatkan ilmu pengetahuan lebih banyak. Sekolah dan kampus dikelola dalam nalar perusahaan (korporasi, menjadi korporatisasi) dengan banyak pertimbangan ekonomis, seperti efektivitas, efesiensi, produktivitas, dan lainnya. Nalar ini juga menjadikan institusi pendidikan adalah sarana untuk mengeruk dan memupuk untung materi, jadi tujuan utamanya bukanlah proses pemanusiaan, pemerdekaan, pengembangan ilmu pengetahuan, namun sekadar dapat berjalan sebagaimana rutinitas industri yang menerima in put, kemudian mengolahnya, dan mengeluarkan produk yang memiliki nilai tambah dan produktivitas lebih.

Ketiga, dunia pendidikan sekadar menjadi subsistem dari tatanan ekonomi neoliberal. Dalam nalar ini, siswa yang masuk dalam sekolah atau kampus dididik dengan doktrin-doktrin modernisme-neoliberal, mereka diarahkan pandangan hidupnya pada pencapaian kesuksesan hidup ala kaum neolib, diarahkan pembangunan sosial-budaya ala borjuis-kapitalis, dan ikut dalam pandangan dan gaya hidup kaum borjuis-kapitalis. Para siswa diberikan kompetensi yang sekiranya dibutuhkan oleh dunia industri, dalam hal ini pendidikan tunduk pada kemauan pasar, pendidikan hanya ditujukan sebagai lembaga pensuplai tenaga kerja untuk dunia industri. Pendidikan dengan demikian tidak lagi sebagaimana ideal konsep pendidikan sebagai lembaga pencerahan dan pembangun peradaban, menciptakan peradaban manusia, tapi sekadar mengikuti jalan peradaban yang dibangun oleh para kaum kapitalis-borjuis di atas puing-puing humanisme, bersenjatakan legitimasi ilmu pengetahuan yang mereka kendalikan.

Kecenderungan neoliberalisme pendidikan tersebut ternyata justru dilegitimasi oleh beberapa kebijakan pemerintah, di antaranya adalah Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Beberapa klausul dalam UU BHP yang relatif dapat dikatakan sebagai legitimasi neoliberalisme pendidikan antara lain dan terutama adalah dalam pendanaan.

Misalnya, upaya pelepasan tanggung jawab negara dalam membiayai pendidikan. Hal ini terdapat pada bab VI pasal 40 ayat (2) yang berbunyi, “Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dalam pasal 41 ayat (1) memang terdapat “jaminan” dalam pendanaan pendidikan dengan menyatakan bahwa, “Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”; pada ayat (3) dinyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”, untuk biaya operasional pada pendidikan menengah pada ayat (4) bahwa, ”Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”.

Sementara itu pada level perguruan tinggi (yang dimaksud di sini tentu perguruan tinggi negeri, karena tidak disebutkan BHPM dalam klausul-klausulnya, tapi BHPP, BHPPD) terdapat dalam pasal 41 ayat (5) bahwa, “Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”, biaya operasional terdapat dalam ayat (6) bahwa, “Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit 1/2 (seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”. Kalau dicermati lebih jauh, pada ayat (5) dan (6) terdapat kata-kata “bersama-sama”, dengan demikian misalnya mengambil kasus Universitas Indonesia (UI), pada ayat (5) “pemerintah bersama-sama dengan UI menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, ..”, ayat (6) menjadi, “pemerintah bersama-sama dengan UI menanggung paling sedikit ½ biaya operasional…”. Sudah begitu, pada pasal 41 ayat (10) dinyatakan bahwa, “Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Hibah tentu tidaklah wajib, hibah sifatnya sumbangan, charity, donasi.

Pada pasal 44 yang mengatur lembaga pendidikan swasta, pada ayat (1) dinyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP Penyelenggara, dalam menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar, untuk biaya operasional dan beasiswa, serta bantuan biaya investasi dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik sesuai dengan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”. Kata-kata “menanggung dana” tersebut tidak dapat dipegang, seberapa besar tanggungannya.

Pasal 65 ayat (3) dinyatakan bahwa, “Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperoleh alokasi dana pendidikan dengan mekanisme pendanaan yang tetap paling lama 4 (empat) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan, dan selanjutnya memperoleh alokasi dana pendidikan sesuai dengan Pasal 40 ayat (5)”. Sedangkan pasal 40 ayat (5) bahwa, “Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan dikelola oleh pemimpin organ pengelola pendidikan”. Jadi, setelah empat tahun semua badan hukum pendidikan yang dulunya adalah kampus-kampus negeri tiada menerima alokasi dana subsidi pemerintah lagi, kecuali dalam bentuk hibah. Yayasan pun sama, hanya saja selama 6 (enam) tahun dan mendapatkan bantuan dana dalam bentuk hibah. Pun pada pasal 46 ayat (1) dinyatakan, “Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru”. Bila dicermati, maka perlu dipertanyakan di mana anak yang kurang mampu dan tidak memiliki potensi akademik tinggi?

Selain kecenderungan melepaskan tanggung jawab negara, yang terjadi juga mengelola bagaikan mengelola sebuah pabrik dengan prinsip-prinsip manajemen perusahaan, sekolah, kampus telah menjadi perusahaan, dan pada akhirnya akan berbudaya perusahaan. Pada pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa, “Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan”. Ketentuan ini tentu aneh, bagaimana ditentukan prinsipnya nirlaba tapi ternyata terdapat sisa hasil usaha? Hal ini diteguhkan dalam pasal 42 ayat (1) bahwa, ”Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio”. Dalam pasal 57 dinyatakan bahwa BHP dibubarkan oleh putusan pengadilan apabila –dalam point (b) dan (c)- dinyatakan pailit dan/atau asetnya tidak cukup untuk melunasi utang setelah pernyataan pailit dicabut. Pada pasal 58 ayat (1) diteruskan dengan, “Pembubaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 wajib diikuti dengan likuidasi”. Menjadi aneh juga bahwa institusi pendidikan harus kena pajak, padahal mestinya institusi pendidikan dan kesehatan adalah ranah yang mendapatkan keringanan untuk tidak dikenakan pajak seperti pasal 38 ayat (1), (2), (4), pasal 43 ayat (4), dan pasal 45 ayat (3), karena memang merupakan tugas mulai dalam memajukan peradaban bangsa dan memanusiakan-memanusiakan manusia.

Dari teks UU No. 9/2009 tentang BHP tersebut terlihat betapa negara berupaya melepas tanggung jawab terhadap pembiayaan dunia pendidikan, terutama pendidikan publik yang selama ini dilayani oleh sekolah dan perguruan tinggi negeri. Padahal dalam konstitusi UUD ’45 sudah diamanatkan bahwa negara mempunyai tanggung jawab dalam “mencerdaskan kehidupan bangsa”, pada bab XIII pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat (2) berbunyi, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Sementara dalam UU No. 9/2009 tentang BHP pasal 41 hanya menanggung pendidikan dasar dari BHPP dan BHPD, tampak bahwa swasta tidak diperhatikan. Dalam korporatisasi terlihat dengan jelas betapa istilah-istilah ekonomi digunakan dalam perundang-undangan yang mengatur tentang pendidikan, seperti pailit, deviden, portofolio, investasi, sisa hasil usaha, pajak, dan lainnya.

Neoliberalisme pendidikan setidaknya menyebabkan tiga permasalahan krusial dalam pendidikan, pertama, adalah semakin mahalnya biaya pendidikan yang mesti ditanggung masyarakat luas, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Hal ini karena institusi pendidikan publik seperti kampus-kampus negeri tidak lagi akan mendapatkan subsidi, melainkan hanya dalam bentuk hibah. Sedangkan untuk pendidikan dasar dan menengah juga tidak memperhatikan siswa yang tidak mampu dan bodoh, yang diperhatikan hanya yang tidak mampu dan pintar, terlebih lagi yang di sekolah-sekolah swasta pinggiran kota atau pelosok desa, seakan memang pemerintah tiada peduli nasib pendidikan. Kalau hanya orang-orang yang berduit yang mampu mendapatkan pendidikan memadai sampai kuliah, maka posisi-posisi strategis di masyarakat akan dikuasai oleh kalangan menengah ke atas saja, akses bagi kaum miskin untuk melakukan mobilisasi sosial vertikal semakin sempit karena biaya kuiah mahal.

Hal ini juga diperparah dengan banyak kebijakan lain seperti rasio SMA:SMK akan dijadikan 30:40, dengan alasan SMK akan lebih dapat meluluskan siswa-siswa siap kerja. Hal yang jarang diperhatikan adalah, bahwa semestinya siswa-siswa tersebut tidak harus atau jangan dipaksa untuk sekadar menajdi pekerja, tukang, atau kuli yang sekadar membutuhkan keterampilan SMK atau kursus, mestinya lebih dari itu dengan studi lanjut untuk menghasilkan para pemikir, intelektual, para pioner perubahan di masyarakat, dan pemimpin bangsa yang juga sekaligus kompeten dalam bidang keahliannya masing-masing. Realitasnya, sebagian besar mereka yang masuk ke SMK adalah dari kalangan menengah ke bawah yang membutuhkan kerja praksis untuk membantu kehidupan keluarga, dan dengan masuk SMK mereka memang dapat langsung kerja praksis, tetapi dengan begitu semakin tipis kemungkinan ia dapat keluar dari cap kelas sosial menengah ke bawah itu.

Kedua, dari sisi sosial-budaya. Korporatisasi institusi pendidikan akan membangun kultur korporasi dalam institusi pendidikan tersebut, dengan berbagai kebijakan pendidikan yang mengutamakan kapital, di sini iklim akademik akan luntur berganti menjadi iklim korporasi yang mengutamakan efektifitas, efisiensi, dan produktivitas. Ketika kampus negeri mulai tidak lagi disubsidi, maka kampus dipaksa untuk membuka badan usaha komersil, tentu di antaranya termasuk lembaga penelitian dan pusat studi, semuanya mesti dapat memberikan sumbangan dana bagi pemenuhan biaya operasional kampus. Penelitian akan lebih banyak penelitian proyek, atau penelitian kebijakan publik ketimbang riset untuk pengembangan ilmu pegnetahuan, yang muncul adalah riset-riset yang membela dan melegitimasi sang pemberi modal fenomena yang terjadi sekarang adalah ditutup jurusan dan program studi yang tidak mampu menarik minat calon mahasiswa untuk kuliah, diganti dengan jurusan dan prodi yang dibutuhkan oleh dunia industri dan tentunya akan diminati oleh para calon mahasiswa.

Lebih jauh dalam salah satu analisis Marxisme-struktural misalnya, ketika negara berselingkuh dengan para pemilik modal (kapitalis-borjuis) yang terjadi adalah pelanggengan status quo para kapitalis yang didukung oleh legitimasi negara dalam beberapa regulasi dan keputusan-keputusan politik, dan kepentingan negara atau tepatnya pemegang kekuasaan pemerintahan adalah stabilitas, keamanan, ketertiban, yang intinya juga peneguhan status quo mereka, dengan begitu perselingkuhan mereka tidak akan terendus, di sinilah kampus dan mahasiswa dikonsepkan sedemikian rupa untuk membuat mahasiswa tidak mempunyai banyak ruang dan waktu mengkritisi perpolitikan nasional, disibukkan dengan tugas-tugas kuliah, ancaman drop out, dan keberpihakan pihak kampus pada ajang yang tidak mengasah nalar kritis mahasiswa, tapi pada aktivitas yang menumpulkan nalar kritis dan meneguhkan budaya pop di kampus, seperti festival kecantikan, band-band-an, olah raga, dan lainnya. Termasuk kebijakan dari Dikti yang diamini sepenuhnya oleh banyak kampus –karena para birokrat kampus untuk kepentingan karier juga relatif membutuhkan suasana kampsu yang tenang, adem, ayem- maka banyak dana dikeluarkan untuk mengarahkan aktivitas mahasiswa pada kompetisi akademik

Ketiga, dari sisi filosofi manusia. Personalitas. Karakter dan kepribadian siswa dalam nalar neoliberalisme tersebut pada akhirnya menjadikan mereka bermental kerdil, yakni sekadar bercita-cita menjadi orang sukses sebagaimana digambarkan oleh neoliberalisme, sebagai para eksekutif muda, yang berdasi, orang kantoran, yang sebenarnya tiada lebih dari sekrup, mur, dan baut dari mekanisme pelanggenngan status quo kelas kapitalis-borjuis. Siswa-siswa kehilangan otentisitas dirinya, semua seakan disiapkan menjadi tenaga dalam mekanisme industrialis, indoktrinasi peran penting modal ketika telah tertananm dalam diri mereka, maka tiada lain semua yang akan dilakukannya adalah karena motivasi modal.
[1] Baca Lois Weis, Cameron McArthy & Greg Dimitriadis (eds.), Ideology, Curriculum, and the New Sociology of Education: Revisiting the Work of Michael Apple, New York & London, Routledge, 2006.


sumber: http://pendidikankritis.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar