Rabu, 27 Mei 2009

Kemunduran Desentralisasi Pendidikan

Sebagaimana kita ketahui, bahwa sistem pendidikan yang sekian lama dikelola secara sentral oleh pemerintah pusat dinilai kurang efesien, karena pendidikan yang dikelola secara sentral cenderung menafikan keberagaman, perbedaan, kultur dan sebagainya, bahkan cenderung mematikan partisipasi masyarakan, karena pembuatan kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan dilakukan secara terpusat dan dilakukan oleh aparat memerintahan pusat, sehingga pemerintah daerah hanya sebagai pekerja-pekerja perantara, sebagai penyambung dan penyalur ketetapan-ketetapan dan instruksi-instruksi dari pusat untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah. Sementara itu pihak pengelola dan pelaksana pendidikan tidak ubahnya hanya sebagai pekerja-pekerja pasif, karena mereka dalam kekuasaan dan tanggung jawab, serta prosedur-prosedur pelaksanaan tugasnya sangat dibatasi oleh peraturan dan instruksi dari pusat. Segala kegiatan yang dilakukan sekolah harus sesuai dengan peraturan yang ada, dan setidak-tidaknya mendapat izin terlebih dahulu dari pusat[1].

Akibat yang dapat kita rasakan dari sistem pengadaan pendidikan seperti itu antara lain adalah tidak meratanya hasil pembanguna pendidikan baik secara fisik maupun kualitasnya. Secara fisik dapat dilihat dari kondisi sekolah-sekolah masih banyak yang sangat memprihatinkan, jauh dari apa yang diharapkan. Secara kualitas, harus diakui bahawa masih banyak sekolah-sekolah yang mutunya di bawah standar.

Dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP). Dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP)[2]. Dalam peringkat indeks pendidikan EFA Development Index (EDI) tahun 2007, Indonesia berada pada posisi ke 62 dari 130 negara. Di samping itu, indeks pembangunan manusia Indonesia (HDI) juga masih berada pada peringkat bawah jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Peringkat HDI Indonesia pada tahun 2003 berada pada urutan 102, 111 pada tahun 2004, 110 pada tahun 2005, dan sekarang ini berada pada urutan 107 di bawah Vietnam yang menempati urutan 105. Data di atas diperkuat lagi dengan laporan Bank Dunia tentang hasil tes membaca murid kelas IV SD, Indonesia berada pada peringkat terendah di Asia. Hanya 51,7% murid kelas IV SD yang dapat membaca, dan dari hasil penelitian itu disebutkan pula bahwa siswa Indonesia yang dapat membaca hanya mampu memahami 36% dari materi bacaan[3].

Sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, diubahlah sistem pengadaan pendidikan dari sentralistik kepada desentralistik. Kemudian dikembangkanlah model pengadaan pendidikan yang dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai upaya dalam memaksimalkan penyelenggaraan desentralisasi pendidikan. MBS merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah, kebijakan, serta jalannya pendidikan di daerah masing-masing[4].

Selain memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan pemerintah daerah dalam pengadaan pendidikan, MBS juga bertujuan mendorong pengambilan keputusan parsipatif yang melibatkan semua stakeholder pendidikan di sekolah, sehingga dengan demikian akan tercipta rasa memiliki tanggung jawab dari mereka serta semakin meningkat pula dedikasi mereka[5].

Namun yang justru terjadi sekarang adalah pemangkasan dan pengekangan kembali kewenangan sekolah dalam mengelola pendidikan, hal ini sangat dirasakan oleh sekolah-sekolah negeri terutama di tingkat pendidikan dasar. Dengan adanya dana BOS, pemerintah daerah membuat aturan yang sangat membatasi sekali pihak sekolah untuk mencari sumber dana lain demi menunjang kelancaran proses pembelajaran, bahkan ada yang melarangnya sama sekali. Pemerintah daerah menilai bahwa dana BOS sudah cukup untuk mebiayai seluruh kegiatan operasional sekolah, padahal dengan adanya peraturan tersebut banyak kegiatan sekolah yang mau tidak mau harus dihapus, karena tidak cukupnya dana untuk membiayaai kegiatan tersebut. hali ini juga cukup membuat pusing para kepala sekolah, di lain pihak undang-undang menuntut kemandirian sekolah, di sisi lain pemerintah masih tertalu intervensi terhadap kebijakan sekolah.
[1] M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), cet ke-12, hlm. 129-130

[2] Anon. Data Balitbang Tahun 2003 (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2003)

[3] http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=Nzk2NQ

[4] Hasbullah, Otonomi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.67-68

[5] ibid., hlm.72-73

Oleh : Deri Suyatma

sumber: derisuyatma.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar